Ketegangan Sosial Berakar pada Eksklusivisme Beragama
›
Ketegangan Sosial Berakar pada...
Iklan
Ketegangan Sosial Berakar pada Eksklusivisme Beragama
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan sosial akibat sentimen agama ataupun aspek primordial lain yang akhir-akhir ini terasa diyakini berakar pada eksklusivisme beragama. Apabila sikap ini dapat dikurangi, intoleransi dengan sendirinya akan mati di Indonesia.
Eksklusivisme agama diyakini berasal dari pemahaman ilmu keagamaan yang kurang, menurut peneliti Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia, Ahmad Suaedy. Suaedy melanjutkan, perkembangan internet dan media sosial dewasa ini juga tidak dapat dilepaskan dari akar munculnya eksklusivisme beragama.
Teknologi komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi secara cepat justru ”membunuh” institusi yang telah menjadi otoritas dalam bidang ilmu keagamaan. Ajaran beragama direduksi hanya menjadi sekadar potongan ayat yang disebarkan secara luas melalui pesan singkat.
”Mengutip sebuah hadis atau ayat Al Quran di media sosial, misalnya, bisa dilakukan tanpa punya ilmu pengetahuan yang cukup. Pihak-pihak yang semula adalah ahli dan berotoritas di bidang itu dihancurkan. Itulah dunia post-truth,” kata Suaedy dalam diskusi bertajuk ”Membumikan Pikiran Pembaharu Islam di Tengah Menguatnya Eksklusivisme Keagamaan” yang digelar oleh Nurcholish Madjid Society, Kamis (21/2/2019) malam, di Jakarta.
Dalam kesempatan itu hadir pula sebagai narasumber anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, yang juga mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Kebutuhan akan tokoh-tokoh Islam moderat seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, kata Suaedy, menjadi sangat terasa di tengah kondisi masyarakat yang tumbuh semakin intoleran.
Bentuk eksklusivisme beragama yang sudah terlalu jauh, Yudi mencontohkan, adalah kompleks-kompleks perumahan syariah.
Untuk itu, yang dapat dilakukan sekarang untuk mengurangi eksklusivisme adalah memulai menghapus sekat-sekat pembeda, yang akan bermuara pada hilangnya paham-paham intoleran.
Yudi mengatakan, kaum fundamentalis yang intoleran cenderung memiliki pergaulan tertutup dan berada dalam komunitas yang homogen.
Merasakan dan berinteraksi dengan yang berbeda itu jauh lebih baik daripada sekadar menghafal butir-butir Pancasila.
Oleh karena itu, perlu diciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan adanya interaksi antara anggota kelompok yang memiliki identitas berbeda. Dengan sendirinya, prasangka rasis akan hilang.
Yudi mencontohkan program kerja sama antara sebuah sekolah Katolik dengan sekolah Islam swasta di Jakarta di mana sejumlah siswa dapat mencoba merasakan belajar di sekolah lain. Para siswa dapat langsung mempraktikkan toleransi.
”Merasakan dan berinteraksi dengan yang berbeda itu jauh lebih baik daripada sekadar menghafal butir-butir Pancasila,” katanya.
Jumlah ruang publik yang memungkinkan interaksi lintas kalangan di masyarakat pun, menurut Yudi, secara praktis sudah sangat minimal. Yudi menilai, ruang publik di kota-kota besar saat ini hanyalah pusat perbelanjaan.
”Meski mal itu ruang publik, pengunjungnya memiliki intensi pribadi, bukan untuk berkumpul. Jadi, mungkin perlu ada perda-perda yang mengharuskan pusat-pusat perbelanjaan itu memiliki fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dapat menjadi ruang-ruang bersama, seperti perpustakaan,” lanjut Yudi.
Selain secara fisik, penghapusan sekat-sekat ini, menurut dia, juga perlu dilakukan di ruang-ruang publik lain, seperti di televisi. Kesadaran akan keragaman etnis dan budaya sudah harus benar-benar dibangun.
”Nyaris semua presenter di televisi kita berasal dari satu jenis warna kulit. Jadi, ketika bertemu yang berbeda sedikit, langsung kaget,” ujarnya.