Sehari setelah konflik, para tokoh Desa Hualoy dan Desa Latu, Seram Bagian Barat, belum bisa dipertemukan untuk membahas solusi damai. Polisi terus melakukan pendekatan.
AMBON, KOMPAS — Hingga Kamis (21/2/2019) malam, tokoh dari Desa Hualoy dan Desa Latu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yang terlibat konflik pada Rabu pagi, belum bisa dipertemukan. Polisi terus mengupayakan pendekatan guna membicarakan solusi damai bagi warga kedua desa yang wilayahnya berdekatan itu.
Kepala Biro Operasional Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar Gatot Mangkurat, yang menjadi mediator konflik, tiba di lokasi beberapa jam setelah bentrokan. ”Kami temui satu per satu. Kedua pihak belum bisa dipertemukan,” kata Gatot, Kamis malam.
Pertemuan Gatot dengan tiap-tiap pihak dilakukan secara terpisah untuk meredakan situasi dan mencegah bentrok susulan. ”Tujuan kami bikin situasi cooling down dulu. Setelah itu baru kami bisa pertemukan,” ujarnya.
Hingga semalam, 327 personel gabungan Polri dan TNI menyekat perbatasan kedua desa. Aparat juga mengawal agar lalu lintas di Jalan Trans-Seram yang melewati kedua desa lancar. Saat bentrokan, akses jalan sempat lumpuh lebih dari lima jam. Padahal, jalur itu menghubungkan tiga kabupaten, yakni Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur.
Akibat konflik tersebut, satu orang dilaporkan tewas. Sejumlah bangunan dirusak dan dibakar, seperti gedung SD dan SMP di Desa Tumalehu, gedung SD di Desa Hualoy, serta 2 rumah warga dan 2 rumah dinas guru di Tumalehu. Tumalehu terdampak karena letaknya berimpitan dengan Hualoy dan Latu.
Sebelum terjadi konflik terbuka, kedua desa bersitegang setelah terjadi penganiayaan terhadap warga Hualoy yang diduga dilakukan warga Latu.
Warga Hualoy telah mendesak polisi agar segera menangkap pelaku, tetapi terduga pelaku belum juga ditangkap. Saling lempar ancaman terus terjadi hingga pecah konflik terbuka (Kompas, 21/2).
Kegiatan belajar-mengajar masih lumpuh. Kepala Dinas Pendidikan Seram Bagian Barat Sam Sengaji mengatakan, sejauh ini sekolah darurat, terutama untuk siswa yang bersiap menghadapi ujian akhir, belum bisa dibangun.
”Warga saling tembak, jadi guru dan anak-anak takut. Sesuai rencana, kegiatan belajar-mengajar akan dilaksanakan di kampung terdekat. Kami segera mendata anak-anak,” katanya sembari menambahkan, siswa di tiga sekolah itu berjumlah sekitar 500 orang.
Ego antarkampung
Pengamat sosial dari Universitas Pattimura, Ambon, Josep A Ufi, berpendapat, konflik warga antardesa di Maluku disebabkan sikap ego antarkampung yang masih tinggi.
Persoalan pribadi di antara orang per orang diarahkan menjadi persoalan antarkampung. ”Kolektivitas diarahkan untuk hal- hal negatif,” ujarnya.
Josef melihat faktor lain yang berpengaruh, yakni melunturnya kearifan lokal sebagai dampak globalisasi. Tokoh-tokoh kampung yang pendapatnya biasa didengar mulai diabaikan. Amarah dan dendam yang terus dipelihara akan membuat kedamaian menjauh. Pembangunan pun terhambat.
Terkait penggunaan senjata, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa mengatakan, senjata yang dipakai warga saat bentrok berupa pistol, senjata laras panjang, dan bom rakitan. Polisi akan meminta warga untuk menyerahkan senjata itu.
Berdasarkan catatan Kompas, saat konflik sosial terjadi di Maluku pada 1999-2003, senjata rakitan dan organik beredar luas. Banyak warga bisa merakit senjata sendiri. Selain itu, gudang penyimpanan senjata di Markas Brimob Polda Maluku di Ambon juga dibobol. (FRN)