DEPOK, KOMPAS — Seorang pelajar SMP ditemukan tewas gantung diri di kamarnya di Kampung Banjaran Pucung RT 002 RW 010 Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, Kamis (22/2/2019). Pelajar tersebut diduga bunuh diri karena ketakutan setelah orangtuanya dipanggil pihak sekolah.
DR (15) ditemukan kakeknya, Albertus Supriyanto, pada Kamis sekitar pukul 18.00 dalam keadaan tak bernyawa. DR nekad gantung diri menggunakan sabuk bela diri berwarna hitam. Sabuk tersebut dia ikatkan pada kayu plafon kamarnya.
Lurah Cilangkap Suaibun mengatakan, sehari-hari DR tinggal bersama kakeknya. Sementara itu, orangtua DR sedang bekerja di Cianjur, Jawa Barat.
”Menurut orangtuanya, anak tersebut sudah tidak masuk sekolah selama dua hari berturut-turut. Untuk itu, dia dipanggil pihak sekolah,” kata Suaibun saat dihubungi, Jumat (22/2/2019).
Sebelum mendapati cucunya gantung diri, Supriyanto sempat menerima telepon dari orangtua DR. Saat menelepon, orangtua DR berpesan kepada Supriyanto agar DR tidak diizinkan pergi ke mana-mana sebab orangtua DR kala itu baru saja mendapatkan laporan dari pihak sekolah bahwa DR bolos sekolah lagi.
Setelah selesai menerima telepon, Supriyanto memutuskan mengecek kondisi cucunya yang berada di kamar. Pintu kamar DR kala itu tertutup rapat sehingga Supriyanto mengetuknya hingga beberapa kali.
”Beberapa kali kakeknya mengetuk pintu kamar DR, tetapi tidak ada jawaban. Lalu, dia memutuskan membuka pintu kamar dan mendapati DR dalam kondisi seperti itu,” kata Suaibun.
Sementara itu, Kepala Polsek Cimanggis Komisaris Polisi Suyud menjelaskan, dari hasil olah tempat kejadian perkara, Polisi menemukan surat panggilan untuk orangtua DR. Menurut Suyud, surat panggilan itu adalah surat panggilan kedua dari sekolah DR.
Suyud memastikan tidak ada tanda-tanda kekerasan yang ditemukan di tubuh DR. Untuk alasan tersebut, orangtua DR juga menolak anaknya diotopsi.
”Jenazah DR langsung dimakamkan Jumat pagi di tempat pemakaman umum setempat,” ujar Suyud. Menurut Suyud, kasus bunuh diri pelajar di merupakan yang pertama kali terjadi di Cimanggis sejak tahun 2018.
Alternatif
Menurut Peneliti Kesehatan Mental di Program Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, di era modern seperti sekarang ini, bunuh diri menjadi salah satu alternatif yang banyak dipilih untuk menyelesaikan masalah. Hal itu tidak lepas dari peran media sosial yang membuat bunuh diri menjadi hal biasa.
”Pada dasarnya remaja masih dalam kondisi labil. Mereka tidak tahu bagaimana atau kepada siapa dirinya bisa cerita terkait persoalan yang sedang dihadapi. Mereka seperti kehilangan arah,” kata Devie.
Intensitas komunikasi antara orangtua dan anak juga menyebabkan kepekaan orangtua terhadap masalah yang dihadapi anak berkurang sehingga tidak banyak orangtua yang tahu apa yang sedang dialami atau dihadapi anak mereka.
Tidak hanya itu, selama ini belum semua sekolah bisa mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk mengatasi persoalan mental yang dihadapinya. Sebab, kesehatan mental masih menjadi hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan.
Devie menyarankan, untuk mengatasi hal-hal serupa, para orangtua harus lebih peka terhadap perubahan yang terjadi pada anak mereka. Fungsi sosial media juga harus dimanfaatkan untuk mengidentifikasi psikologi anak melalui simbol-simbol yang ditunjukkan anak dalam unggahan-unggahan di media sosialnya. Hal itu karena remaja cenderung lebih terbuka menyampaikan perasaannya di media sosial.
”Adapun pihak sekolah juga harus mengubah gambaran sosok guru bimbingan konseling (BK). Guru BK harus bisa menjadi sosok teman bagi anak, bukan menjadi sosok yang menakutkan bagi pelajar,” kata Devie. (KRISTI DWI UTAMI)