Penanganan Perkara Korupsi TPST Sidoarjo Harus Dievaluasi
›
Penanganan Perkara Korupsi...
Iklan
Penanganan Perkara Korupsi TPST Sidoarjo Harus Dievaluasi
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Perkara korupsi proyek pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu atau TPST di tiga pasar tradisional di Sidoarjo, Jawa Timur, harus dievaluasi. Alasannya, penanganan perkara yang saat ini dalam proses sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya itu dinilai belum memenuhi asas keadilan karena belum menyentuh kepada pihak yang lebih bertanggung jawab.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang diketuai I Wayan Sosiawan memerintahkan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang menangani perkara tersebut agar melakukan evaluasi. Majelis mengancam akan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi perkara apabila perintah pengadilan itu tidak dilaksanakan oleh jaksa.
”Saya tidak bisa melihat ketidakadilan di depan mata. Orang yang seharusnya bertanggung jawab, marilah (diadili). Yang betul-betul bersalah secara hukum taruhlah di sini,” ujar Jhon Dista, salah satu anggota majelis hakim, saat sidang lanjutan, Jumat (22/2/2019).
Proyek pembangunan TPST dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Sidoarjo tahun 2017 dengan biaya Rp 200 juta per titik. Pembangunan TPST itu dilaksanakan di Pasar Larangan, Pasar Krian, dan Pasar Taman melalui sistem penunjukan langsung dengan pelaksana pekerjaan CV Keamanan Jaya milik Abdul Manan.
Pekerjaan seharusnya selesai akhir tahun, tetapi faktanya berlanjut sampai 2018 sehingga melanggar aturan perundang-undangan. Selain itu, berdasarkan audit yang dilakukan oleh ahli dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sidoarjo juga ditemukan ketidaksesuaian dengan spesifikasi dan kekurangan volume pekerjaan.
Terkait temuan itu, jaksa Kejari Sidoarjo menetapkan tiga terdakwa, yakni Abdul Manan, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Nur Achmad, dan konsultan pengawas pekerjaan Ari Lukmanul Hakim. Namun, berdasarkan fakta persidangan berupa keterangan saksi dan alat bukti dokumen, penentuan terdakwa itu dianggap belum memenuhi unsur keadilan karena belum menyentuh pada pihak yang paling bertanggung jawab.
”Mana lebih besar tanggung jawabnya, terdakwa bertiga ini atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom)?” kata majelis hakim kepada Kepala Bidang Bendahara dan Akuntansi DLHK Sidoarjo Khusnul Inayah yang dihadirkan sebagai saksi.
Dari fakta persidangan terungkap bendahara telah membayar penuh pekerjaan pembangunan tiga TPST pada November 2017, padahal pekerjaan pemasangan paving baru dilakukan 2018. Dasar pencairan anggaran itu adalah berkas penerimaan hasil pekerjaan yang menyatakan pekerjaan telah selesai.
Berkas itu ditandatangani oleh Nur Achmad sehingga dia menjadi terdakwa. Nur menganggap pekerjaan selesai berdasarkan laporan yang tertuang dalam formulir Mutual Check 100 persen (MC 100) yang disampaikan oleh pelaksana dan pengawas pekerjaan. Dia hanya mampu melihat pekerjaan secara fisik, tetapi tidak memiliki kapasitas menilai volume dan spesifikasi pekerjaan.
Fakta lain, dalam proses pelaksanaan pekerjaan, CV Keamanan Jaya tidak memiliki tenaga profesional. Perusahaan itu hanya mempekerjakan pengawas tukang, mandor, tukang, dan bagian administrasi. Pengawas tukang dan bagian administrasi ini tidak memiliki keahlian di bidangnya, hanya berbekal pengalaman otodidak.
Selain itu, dalam dakwaannya, jaksa menyatakan terdakwa Ari Lukmanul Hakim telah melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Terdakwa memalsukan tanda tangan Direktur CV Guna Utama Konsultan Ghufrona dan Direktur Utama PT Kijang Wahana Kreasi Bambang Suharto dalam berita acara serah terima pekerjaan jasa konsultan pengawasan pekerjaan TPST di tiga pasar tersebut.
Berdasarkan fakta persidangan, sejak awal mekanisme penunjukan langsung tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh PPKom karena pelaksana pekerjaan tidak memiliki kapasitas dan kompetensi. Dalam perjalanannya pun banyak pelanggaran. Contohnya konsultan pengawas tidak pernah bertemu dengan pelaksana pekerjaan di lapangan, tetapi dengan bagian administrasi.
Proses pencairan anggaran, termasuk penerbitan surat perintah pencairan dana (SP2D) pada bidang perbendaharaan, juga tidak sesuai ketentuan perundang-undangan. SP2D seharusnya bersifat spesifik, yakni hanya untuk satu surat perintah membayar (SPM). Sementara pencairan dana dalam proyek pembangunan tiga TPST ini dilakukan sekaligus, padahal pagu anggarannya disusun untuk setiap lokasi.
Menanggapi perintah majelis hakim itu, jaksa Rochida mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan kepada Kepala Seksi Pidana Khusus dan Kepala Kejari Sidoarjo. Mengenai tindak lanjut dari perintah majelis hakim, apakah akan mengevaluasi perkara tersebut atau tidak, belum ada keputusan resminya.