Tak Cukup Hanya Mengadopsi Perangkat Teknologi Digital
Masih ada pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh korporasi setelah mereka mulai mengadopsi perangkat digital. Pekerjaan rumah tersebut terangkum dalam lima tren teknologi oleh konsultan riset Accenture melalui laporan riset tahunan Accenture Technology Vision 2019: The Post-Digital Era is upon Us, are You Ready for What’s Next?.
Riset itu menggunakan metode survei kepada 6.672 orang eksekutif bisnis dan teknologi informasi di 20 sektor industri, antara lain perbankan, kesehatan, dan otomotif. Responden tersebut menyebar di 27 negara.
Mereka bekerja di perusahaan dengan pendapatan tahunan mulai dari 500 juta dollar AS sampai lebih dari 6 miliar dollar AS. Khusus Indonesia, Accenture menyurvei 60 orang eksekutif yang antara lain bekerja di bidang perbankan, ritel, dan telekomunikasi. Survei berlangsung Oktober-Desember 2018.
Managing Director Information Technology Solution Accenture Indonesia Indra Permana, Kamis (21/2/2019), di Jakarta, mengatakan, sekitar lima tahun terakhir, rata-rata korporasi di seluruh dunia sibuk membicarakan transformasi digital. Mereka mengubah strategi bisnis dan organisasi perusahaan mereka agar relevan dengan perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai otomasi yang melibatkan mesin dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Saat melakukan survei, kami menemukan tak ada satu pun eksekutif mengatakan perusahaannya tidak mengadopsi ”digital”. Digital yang dimaksud mencakup beberapa perangkat atau layanan, seperti media sosial, analisis data berukuran besar, dan aplikasi digital pendukung kinerja produksi.
”Kami menggunakan istilah ’pascadigital’ untuk merujuk aktivitas penting setelah adopsi perangkat digital,” ujar Indra menjelaskan tema riset Accenture Technology Vision 2019.
Baca juga: Kecerdasan Buatan
Tren pertama adalah memahami teknologi blockchain, kecerdasan buatan, extended reality, dan quantum computing. Sekitar 89 persen responden secara global menyebut tren ini sebagai pekerjaan rumah yang mulai dilakukan uji coba.
Di Indonesia, misalnya, beberapa perusahaan besar yang telah aktif memanfaatkan media sosial sebagai sarana mendekatkan diri dengan konsumen mulai memasang robot percakapan (chatbot) di akun media sosial mereka.
”Memahami setiap teknologi digital baru tidak mudah. Teknologi blockchain, misalnya, baru sebatas dipahami untuk memudahkan layanan jasa keuangan. Pemahaman seperti itu jamak ditemukan di sini, padahal blockchain bisa dipakai di sektor industri lain pula,” kata Indra.
Tren kedua adalah kenalilah konsumen, buka keunikan karakter para pelanggan, dan beragam peluang bisnis baru. Sekitar 83 persen responden global setuju bahwa jejak digital yang ditinggalkan oleh konsumen membantu perusahaan mengidentifikasi peluang bisnis baru agar tetap bisa memenuhi kebutuhan konsumen.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Bantu Mengelola Perusahaan
Managing Director Technology Consulting Lead Accenture Indonesia Leonard Nugroho menuturkan, pemasaran produk secara lebih personal mulai marak dilakukan perusahaan skala besar. Akan tetapi, aktivitas seperti itu masih dianggap janggal bagi sebagian konsumen.
”Tren kedua ini akan semakin jamak dilakukan perusahaan. Kami menyarankan saja agar metode pemasaran secara lebih personal, tidak mengganggu privasi konsumen,” ungkap Leonard.
Tren kedua ini akan semakin jamak dilakukan perusahaan. Kami menyarankan saja agar metode pemasaran secara lebih personal, tidak mengganggu privasi konsumen.
Manusia plus
Tren ketiga adalah manusia plus. Tenaga kerja semakin menjadi manusia plus. Artinya, setiap pekerja dituntut memiliki ketrampilan dan pengetahuan digital. Ketika perusahaan telah mengadopsi perangkat digital, bahkan menyatakan bertransformasi digital, mereka memerlukan karyawan yang terampil memanfaatkan perangkat digital.
Managing and Communication Director Accenture Indonesia Nia Sarinastiti menyebutkan, 51 persen dari total responden eksekutif di Indonesia mengungkapkan, perusahaan lebih ketinggalan kemampuan digital dibandingkan karyawan mereka. Oleh karena itu, pekerjaan rumah sekarang adalah mempertahankan mereka yang piawai dan mengubah cara menjalankan organisasi.
”Fenomena milenial Indonesia ramai-ramai pindah kerja ke perusahaan rintisan teknologi unicorn adalah contoh menarik. Akan tetapi, kami rasa perusahaan Indonesia lebih suka berkompetisi memperebutkan tenaga terampil dibandingkan harus melatih karyawan yang sudah ada,” katanya.
Tren keempat terkait keamanan siber. Jaringan bisnis diyakini meningkatkan paparan risiko kejahatan siber sebuah perusahaan. Meski demikian, setiap pembahasan kerja sama bisnis jarang membahas hal itu.
Para eksekutif yang jadi responden riset menyadari bahwa perusahaan mereka harus berubah. Sayangnya, hal itu hanya sebatas kesadaran.
Indra menambahkan, hanya 49 persen dari total responden secara global setuju dan menganggap penting adanya postur kebijakan keamanan siber di perusahaan mereka.
Tren terakhir adalah memenuhi kebutuhan konsumen dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sekitar 85 persen responden secara global setuju bahwa perusahaan perlu segera menyesuaikan cara kerja organisasi agar sejalan dengan tren itu.
Leonard mengatakan, tren kelima berkaitan dengan kedua. Setelah perusahaan mulai memanfaatkan melimpahnya jejak digital untuk aktivitas pemasaran, perusahaan masih harus bekerja keras lagi meningkatkan kecepatan layanan.
Dia menyebutkan, setiap tahun Accenture mengeluarkan laporan Accenture Technology Vision yang berisi paparan tren teknologi. Paparan satu tahun ke tahun berikutnya selalu memiliki benang merah.