Amsterdam, Sejarah Perjuangan Ibu Kota Sepeda Dunia
Jika berkesempatan jalan-jalan di sekitaran kota Amsterdam, Belanda, yang dilalui banyak kanal dan sungai, cobalah sesekali tengok dengan teliti. Meski airnya sering kali keruh, bayang-bayang ribuan bangkai sepeda kadang kala muncul terlihat meski agak samar-samar. Ya, pemerintah kota Amsterdam memang kerap mengeluh, mereka harus melakukan pembersihan secara rutin kanal dan sungai di kota itu dari bangkai ”kereta angin” karena mengancam kelestarian lingkungan sungai.
Amsterdam adalah salah satu dari sedikit kota di dunia yang sebagian besar penduduknya menggunakan moda transportasi sepeda untuk mobilisasi kegiatan harian. Berkat tingkat penggunaan dan populasi sepedanya yang mengagumkan, Amsterdam bahkan mendapatkan gelar ”Ibu Kota Sepeda Dunia”, sebuah gelar yang ternyata didapatkan lewat perjuangan keras para aktivis lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).
Oleh sebab itu, meski Amsterdam mendapatkan banyak sekali manfaat dari sebagian besar penduduknya yang menggunakan sepeda, ancaman pencemaran lingkungan kanal dan sungai juga menjadi bagian problematika kota.
Secara alamiah, kanal dan sungai di seantero Amsterdam memang, sedihnya, sering menjadi tempat pembuangan sampah sepeda, kapal dan perahu kecil, bahkan mobil!
Amsterdam sendiri—yang luasnya 219 kilometer persegi—memiliki 165 kanal dan sungai yang kombinasi panjangnya mencapai 100 kilometer. ”Rata-rata setiap tahun kami mengangkat 12.000 hingga 15.000 bangkai sepeda dari kanal-kanal kami,” papar Arie Beer, pengawas pada badan pengelola perairan Amsterdam, Waternet, seperti dikutip situs resmi Kota Madya Amsterdam.
Bukan hanya sepeda, bangkai-bangkai kapal dan perahu kecil juga menjadi PR besar pasukan Arie Beer untuk diangkat secara rutin. Waternet juga punya pasukan katak yang khusus memberikan pertolongan darurat serta cukup sibuk menolong penduduk yang mobilnya kecemplung kanal. ”Bahkan kami juga sering menolong orang yang terjatuh masuk kanal,” papar Beer.
Menurut dia, tiap tahun rata-rata 100 orang dan 30 mobil kecemplung kanal karena berbagai sebab. Statistik 2017 menunjukkan, Amsterdam berpenduduk 880.000 jiwa, sementara populasi sepeda mencapai 850.000 unit. Pemerintah kota mencatat, 63 persen penduduk Amsterdam dan sekitarnya menggunakan sepeda untuk mobilisasi harian dan sisanya menggunakan kereta (tram), mobil, dan sepeda motor yang kebanyakan jenis skuter.
Dorong anak-anak bersepeda
Meski surganya pesepeda, bagi kelompok anak-anak dan remaja, sistem jalur sepeda yang disediakan pemerintah kota belumlah cukup untuk menjamin keselamatan mereka.
”Lihat, lalu lintas begitu ramainya datang dari semua arah. Empat tram dari empat jurusan. Bagi anak-anak, ini sangat membingungkan,” ujar Wali Kota Sepeda Yunior Lotta Crok, seperti dikutip harian The Guardian, pekan lalu.
Crok, 9 tahun, adalah wali kota sepeda yunior pertama yang dimiliki Amsterdam. Lotta diangkat menjadi wali kota sepeda yunior pada Juni lalu setelah memenangi perlombaan di kalangan anak sekolah yang mendapat pertanyaan, ”apakah rencanamu untuk membuat bersepeda menjadi lebih aman dan menyenangkan”. Lomba ini digelar oleh perusahaan kereta api Belanda, Nederlandse Spoorwegen (NS), pengelola dan operator kereta api negara.
Lotta Crok, 9 tahun, adalah wali kota sepeda yunior pertama yang dimiliki Amsterdam.
”Orangtuaku tak punya mobil, dan kami selalu bepergian menggunakan kereta, kemudian memanfaatkan sepeda yang disediakan perusahaan kereta,” ujar Lotta. ”Namun, tidak ada sepeda khusus buat anak-anak,” lanjut gadis kecil periang ini.
Untuk memberikan penghargaan terhadap ide-ide Lotta, NS menawarkan untuk menyediakan sepeda khusus anak-anak di stasiun kereta di Haarlem, lokasi orangtua Lotta. Namun, gagasan itu kurang berkenan bagi Lotta.
”Saya katakan kepada mereka (NS), hal itu tidak cukup. Saya bukan wali kota sepeda untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh bocah di Amsterdam,” papar Lotta. NS kini membuat proyek percontohan menyediakan satu sepeda anak di tiap stasiun kereta.
Sebagai wali kota, ”wilayah kerja” Lotta Crok adalah Kota Madya Amsterdam dan misinya sangat jelas, menginspirasi anak-anak untuk mau bersepeda tiap hari, berangkat sekolah dan bermain bersama teman-teman. Lotta juga punya misi untuk memperingatkan setiap bocah pesepeda terhadap segala hambatan dan bahaya yang sangat mungkin mereka hadapi di jalanan.
Lotta pada usianya yang masih sangat bocah kini mendedikasikan dirinya untuk kampanye bersepeda aman bagi anak-anak. Dia rajin mengunjungi pejabat kota madya untuk berbagi pemikiran. Dia juga bertemu dengan media untuk menjadikan ide dan gagasannya dimengerti masyarakat luas.
”Ada tiga masalah besar yang dihadapi bocah pesepeda. Pertama, kendaraan roda empat, turis pesepeda, dan pengguna skuter,” papar Lotta.
”Mobil menyita banyak ruang, turis seenak udel memakai sepeda, dan skuter selalu berlari kencang mendahului kami,” lanjutnya.
Saat mengunjungi kantor BYCS, badan yang menjalankan program wali kota sepeda, Lotta bertemu dengan Katelijne Boerma, wali kota sepeda Amsterdam. Ide mengangkat wali kota sepeda yunior juga merupakan ide Boerma.
”Ada sekitar 125.000 anak di Amsterdam yang kemudian menyadarkan saya untuk mendorong anak-anak bersepeda,” papar Boerma sembari menambahkan, sosok seperti Lotta merupakan panutan bagi ribuan bocah lain.
Boerma yakin, meski kalangan masyarakat masih menganggap sepeda adalah moda yang tidak aman bagi anak-anak, masih ada ruang untuk dimenangkan.
”Di masyarakat ada 200 kelompok kultur yang masih beranggapan anak-anak bersepeda sangat tidak aman. Maka, mereka pergi ke sekolah menggunakan bus atau kereta, kemudian mereka mengendarai skuter setelah remaja, lantas pergi kerja memakai mobil,” papar Boerma. ”Selalu masih ada dunia yang bisa kita menangkan!” lanjutnya.
Perjuangan panjang
Amsterdam dengan predikatnya sebagai ”Ibu Kota Sepeda Dunia” diperoleh dengan perjuangan pahit dan panjang. Mengalami masa keemasan pada dekade 1940-an dan 1950-an, kota-kota di Belanda mulai dibanjiri mobil pada dekade 1960-an seiring dengan naiknya tingkat ekonomi masyarakat pasca-Perang Dunia II. Butuh jumlah kematian skala besar akibat kecelakaan lalu lintas—terbesar korban adalah anak-anak—dan kampanye luar biasa gigih untuk membuat Amsterdam, dan kota-kota besar lainnya di Belanda, untuk menjadi surga para pesepeda seperti sekarang ini.
Kisah Amsterdam sebagai surga pesepeda dimulai pada awal abad ke-20 ketika jumlah kereta angin ramah lingkungan tersebut jauh melebihi kendaraan bermotor roda empat. Namun, setelah Perang Dunia II usai, pada dekade ’50-an hingga ’70-an, saat ekonomi Belanda mulai tumbuh dan memasuki masa-masa keemasan era industrialisasi, jumlah pengguna mobil kian melesat. Para perencana kota dan pemerintah pun melihat mobil dan kendaraan bermotor lain adalah moda transportasi masa depan.
Kawasan-kawasan permukiman dan jalur-jalur sepeda kemudian dihancurkan, diganti dengan jalan raya untuk kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu, penggunaan sepeda menurun konstan rata-rata 6 persen per tahun. Di kalangan pencinta lingkungan dan masyarakat ”kolot” pesepeda, timbul kekhawatiran nyata, moda transportasi murah meriah ini akan lenyap selamanya dari bumi Belanda.
Tiba masa angka kecelakaan lalu lintas melonjak tajam akibat tumbuh cepatnya kendaraan bermotor. Angka mencapai puncaknya dengan korban mencapai 3.300 jiwa pada 1971, termasuk 400 jiwa anak-anak. Statistik muram ini kemudian menjadi pemicu serangkaian protes dan demonstrasi dari berbagai kelompok masyarakat. Kelompok pemrotes yang paling populer adalah ”Stop de Kindermoord” (Stop Pembunuhan Anak-anak). Menurut tulisan sejarah The Guardian, gerakan ini diketuai oleh mantan anggota Parlemen Eropa, Maartje van Putten.
”Saya adalah seorang ibu muda yang tinggal di Amsterdam dan menyaksikan sejumlah kecelakaan lalu lintas yang korbannya adalah anak-anak. Itu membuat saya sangat marah,” kenang Van Putten, kini 63 tahun.
Perjuangan keras Van Putten dan berbagai komunitas lain uniknya mendapat sokongan dari pemerintahan kota dan pusat, juga dengan anggota parlemen yang sangat terbuka kala itu. ”Kami bahkan bisa langsung bertemu dengan anggota parlemen, minum teh, dan mereka mendengarkan apa yang kami mau,” papar Van Putten. ”Bahkan para polisi yang menjaga kami berdemonstrasi pun sangat ramah,” ujarnya sembari tertawa.
Berkat lobi-lobi yang intens, Stop de Kindermoord mendapat subsidi pemerintah dan memiliki markas pertamanya di sebuah bekas toko. Mereka kemudian mengembangkan ide-ide perencanaan perkotaan yang lebih aman.
Lahirnya kawasan Woonerf
Inilah cikal bakal dibangunnya kawasan ”Woonerf”, yakni sebuah wilayah dengan jalan atau sekumpulan jalan yang berfungsi sebagai ”berbagi ruang publik”, untuk pejalan kaki, pesepeda, dan pada beberapa kasus bagi mobil yang berjalan perlahan. Kawasan Woonerf dibangun tanpa lampu lalu lintas, rambu-rambu peringatan, jalur pembagi, bahkan tanpa trotoar. Ide besar dari kawasan ini adalah mendorong interaksi antarmanusia yang berbagi ruang publik secara damai. Mereka yang memakai ruang ini seolah dipaksa untuk berinteraksi, saling memperhatikan satu sama lain atau melakukan kontak mata.
Saat ini, kawasan Woonerf memang dianggap ketinggalan zaman, tetapi masih bisa ditemui di banyak kota besar di Belanda. Uniknya, negara-negara Eropa lainnya justru banyak yang meniru konsep Woonerf Belanda, salah satu yang sangat populer adalah kawasan Alexanderplatz di pusat kota Berlin, Jerman, Hisarya di Bulgaria, dan Christchurch di Selandia Baru.
Dua tahun setelah Stop de Kindermoord terbentuk dan mapan, kelompok aktivis lain, Serikat Pesepeda Belanda, terbentuk dan mereka menuntut ruang publik yang lebih luas bagi pesepeda.
Gerakan radikal yang ditempuh Serikat Pesepeda Belanda awalnya mendapatkan hambatan keras dari politisi serta perencana dan pengelola kota. Namun, momentum kemudian datang pada 1973 dengan datangnya bencana krisis minyak bumi. Kala itu, negara-negara Arab pengekspor minyak melakukan embargo terhadap Amerika Serikat, Inggris Raya, Kanada, Jepang, dan Belanda yang membantu Israel dalam Perang Yom Kippur.
Harga minyak di negara-negara itu langsung melonjak empat kali lipat. Dalam sebuah pidato yang ditayangkan televisi secara nasional, Perdana Menteri Den Uyl mendesak warganya untuk mengadopsi gaya hidup yang bisa menghemat energi. Pemerintah Belanda kemudian memberlakukan hari Minggu bebas kendaraan roda empat alias car free day. Dampaknya luar biasa. Anak-anak bebas bermain di jalanan dan rakyat tiba-tiba seolah menemukan kembali hari-harinya di masa lalu yang tenang dan damai sebelum mobil-mobil dan kendaraan bermotor menguasai jalanan kota-kota mereka.
Secara bertahap, politisi dan Pemerintah Belanda kemudian menyadari betapa moda transportasi sepeda mampu menjawab semua tantangan, mulai dari krisis energi hingga keselamatan anak-anak masa depan bangsa.
Pada dekade 1980-an, Amsterdam dan kota-kota besar lain di Belanda mulai membangun jalur-jalur khusus sepeda dengan ide yang sangat ambisius, masyarakat akan selalu memilih moda yang murah meriah dan menyehatkan ini.
Secara bertahap, politisi dan Pemerintah Belanda kemudian menyadari betapa moda transportasi sepeda mampu menjawab semua tantangan, mulai dari krisis energi hingga keselamatan anak-anak masa depan bangsa.
Saat ini, Belanda memiliki lebih dari 35.000 kilometer jalur khusus sepeda. Seperempat perjalanan orang Belanda dilakukan dengan sepeda. Di Amsterdam, 38 persen perjalanan dilakukan dengan sepeda, sementara di Groningen yang dikenal sebagai kota universitas 59 persen perjalanan dilakukan di atas sadel sepeda.
Saat ini, Perdana Menteri Mark Rutte sering berkantor dengan mengayuh sepeda. Perdana menteri yang sangat ramah ini bahkan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Raja di istana dengan menunggang sepeda.