Kopi yang Merasuk di Hati
Hutan Kalimantan Tengah menyimpan berjuta kekayaan. Tanaman hutan tumbuh subur, salah satunya kopi liberika. Potensi ini dimanfaatkan, di tengah jumlah pecinta kopi Nusantara yang kian bertambah. Ceruk pasar kopi yang kian dalam menambah godaan untuk larut dalam dunia kopi.
Hutan Kalimantan Tengah menyimpan berjuta kekayaan. Tanaman hutan tumbuh subur, salah satunya kopi liberika. Potensi ini dimanfaatkan, di tengah jumlah pecinta kopi Nusantara yang kian bertambah. Ceruk pasar kopi yang kian dalam menambah godaan untuk larut dalam dunia kopi.
Dionisius Reynaldo Triwibowo
Dedi Setiadi (31), pemilik produk Coka Med Coffee di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menangkap peluang itu. Dia memanfaatkan pohon kopi liberika yang tumbuh liar karena terbawa burung enggang atau satwa liar lain ke kebun milik keluarganya di Tumbang Juntuh, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng.
“Di kampung saya, kalau menurut orang tua, dulunya markas pasukan Belanda. Mereka yang mungkin menanam pertama lalu dibawa burung atau satwa lain sehingga pohon kopi di sana tumbuh liar tak beraturan,” cerita Dedi saat ditemui di rumahnya di Palangkaraya, beberapa waktu lalu.
Di kampung tempat tinggal Dedi, pohon kopi tumbuh liar, tak dipupuk apalagi dibersihkan. Masyarakat sekitar memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. Kopi diseduh untuk dinikmati sendiri maupun untuk disuguhkan kepada tamu.
“Dari situ mulai saya jual bubuk kopinya ke warung-warung. Ternyata laku, saya kembangkan sampai punya merek sendiri,” tutur Dedi.
Bisnis itu dimulai Dedi pada 2014. Ia bergabung dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalteng. Pesanan kopi tak hanya datang dari Kalteng. Namun, juga dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, bahkan Singapura.
Kopinya menjadi unggulan di toko oleh-oleh dan cenderamata. Ia memiliki produk utama dari kopi hutan, yakni Coka Med Coffee dan Coka Munyin Coffee dari kopi liberika, serta Coka Peaberry Coffee dari kopi robusta.
Tak ingin menjual kopi ala kadarnya, Dedi belajar khusus perihal kopi di Jakarta. Tujuannya, memiliki sertifikat sebagai barista. Kendati belum memiliki kafe sendiri, setidaknya Dedi yakin bisa menyajikan kopi dengan cita rasa tepat dengan wangi yang mengundang selera.
Saat dijumpai di pekarangan rumahnya, Dedi bersama istri dan enam karyawan Coka Med Coffee sedang memilah biji kopi liberika yang sudah dijemur beberapa jam sebelumnya. Biji itu lantas diproses menggunakan mesin sampai akhirnya menjadi bubuk.
“Semula, kopi yang saya beli dari masyarakat banyak yang rusak karena pohonnya memang tidak dirawat dengan baik. Jadi, mau tidak mau saya juga mengajarkan mereka tentang merawat pohon dengan baik,” ujar Dedi.
Di pekarangan seluas kurang lebih tujuh meter kali lima meter di depan rumahnya, Dedi juga menyiapkan bibit tanaman kopi. Nantinya bibit itu akan ditanam di kebunnya. Sebagian dibagikan kepada petani kopi.
Kini, kopi liberika mulai ditanam petani hutan di kampung mereka. Para petani juga sudah menyadari, tanaman kopi mesti dirawat agar biji kopi yang dihasilkan berkualitas baik. Lahan di sekitar pohon juga dirawat.
Berkah
Kopi menjadi berkah tersendiri bagi petani yang mulai resah karena harga karet yang terus merosot. Dedi membeli kopi dari petani dengan harga Rp 20.000 per kilogram (kg). Harga itu lebih baik dari harga karet yang saat ini hanya Rp 4.500 per kg di Kalteng.
Oleh karena itu, kini petani mulai banyak melirik tanaman kopi untuk menggantikan karet, bahkan sawit. Namun, ada juga petani yang lantas menanam kopi, namun bersedia merawat pohon kopi hutan di wilayah kelolanya.
“Sekarang sudah mulai banyak yang menanam kopi. Dulu, mencari bahan bakunya saja sudah sulit. Tapi sebaliknya, dulu juga ada yang datang untuk menjual kopi, tetapi uangnya yang tidak ada," kata Dedi sambil tersenyum.
Dalam sebulan, Dedi membutuhkan 100 kg kopi yang dibagi menjadi 500-600 kemasan. Harganya beragam, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 75.000 per kemasan 100 gram.
Setiap bulan, Dedi mengirim 200 bungkus untuk satu toko atau kafe. Saat ini ia sudah bekerja sama dengan lima kafe di Palangkaraya, dan semua toko oleh-oleh di Kalteng, Kalsel, dan Kaltim. Dari satu toko, Dedi bisa mendapatkan keuntungan Rp 5 juta per bulannya.
“Saya punya mimpi, petani mulai beralih ke kopi. Kopi tidak merusak kebun,” kata Dedi.
Aroma Kalimantan
Bagi Dedi, kopi liberika yang tumbuh di hutan Kalimantan memiliki cita rasa berbeda. Aromanya tajam menusuk hidung. Saat diseduh dengan air panas bersuhu tertentu, rasanya yang kaya buah-buahan akan menempel di ujung lidah. Bahkan, bagi Dedi, rasa kopi itu melekat kuat di ingatan dan merasuk ke hati.
“Rasa dan aromanya kompleks. Mungkin ini cita rasa Dayak, ini cita rasa Kalimantan,” ujarnya.
Dedi mengungkapkan, satu hal yang memotivasi dirinya adalah keinginan menjaga hutan sebagaimana Dayak sesungguhnya. Ia sedih ketika banyak orang di kampungnya lebih memilih untuk membuka hutan, kemudian menami lahan itu dengan tanaman monokultur.
“Pohon kopi hutan yang saya temukan tumbuh subur di dalam naungan hutan. Kondisi itu yang membuat rasa kopi Kalimantan kaya. Tapi kalau hutannya tidak ada, mungkin yang tersisa hanya ada rasa pahit,” ungkapnya.
Dengan moto “Merajut Mimpi Demi Senyum Keindahan”. Dedi berharap senyum itu datang dari para petani. Ia pun memiliki mimpi agar usahanya mendapat perhatian investor dan bertambah besar. Dengan cara itu, petani di Kalteng mulai beralih ke kopi.