Menantang Generasi Teknologi
Judul: Interpersonal Divide in the Age of Machine
Penulis: Michael Bugeja
Penerbit: Oxford University Press
Tebal: 208 halaman
Cetakan: edisi ke-2; 2017
ISBN: 9780190600990
Teknologi berkembang pesat. Berbagai peranti keras dan aplikasi program muncul silih berganti bak mode. Apabila 20 tahun lalu aplikasi Yahoo Messenger merajai pasar pesan kilat, kini terpaksa kandas. Aplikasi seperti Whatsapp, Line, atau Snapchat jauh-jauh hari menggantikannya.
Kendati demikian, sifat alamiah teknologi tetap konsisten: amoral. Jika teknologi pada dirinya sendiri tidaklah baik atau buruk, lantas bagaimanakah pertimbangan moral manusia ketika 70 persen waktunya habis di depan layar ponsel pintar?
Apa yang terjadi dengan kemanusiaan kita ketika mesin-mesin canggih mengambil alih pekerjaan rutin kita? Bagaimana masa depan anak-anak ketika internet menyediakan begitu banyak jawaban tanpa mempersoalkan terlebih dahulu inti permasalahannya?
Tepat pada kegamangan itulah Michael Bugeja melontarkan sebuah pertanyaan penting kepada kita, yakni apa artinya menjadi manusia di zaman serba teknologis? Melalui Interpersonal Divide in the Age of the Machine: Second Edition, Bugeja menggarisbawahi kembali klaimnya bahwa teknologi mengubah hubungan antarmanusia.
Dalam buku ini, Bugeja mengajak pembaca memeriksa secara mendalam bagaimana media dan teknologi menawarkan jalan keluar atas berbagai persoalan manusia. Salah satu perubahan penting yang ditengarai Bugeja adalah bagaimana teknologi memengaruhi hati nurani dan pertimbangan moral manusia.
Pada tataran yang lebih praktis, Bugeja menunjukkan fenomena relasi antarmanusia yang hampa, baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat kerja.
Asumsi dasar Bugeja sebetulnya sangat sederhana. Ia menegaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Kebutuhan sebagai makhluk sosial terpenuhi ketika seseorang diterima dan diakui di dalam sebuah komunitas yang selalu sudah terkait dengan tata cara hidup tertentu. Persis pada pokok itulah teknologi menawarkan alternatif melalui dua ciri khasnya: keterhubungan dan ketersingkapan.
Teknologi menghadirkan komunitas virtual. Ia mengaburkan batas-batas geografis dan identitas sehingga mampu menghubungkan siapa saja dalam warganet.
Namun, pada saat bersamaan, teknologi juga menambang data pribadi dan psikologis para penggunanya. Hal itu dimungkinkan melalui rekam jejak yang tersimpan pada ponsel pintar, jejaring sosial, atau situs-situs favorit yang mereka kunjungi.
Dengan demikian, tak mengherankan apabila teknologi mampu menghubungkan seseorang dengan komunitas-komunitas virtual yang cocok dengan preferensinya. Bahkan, dalam konteks mahadata (big data), teknologi mampu menyingkapkan dan memproyeksikan rentang pilihan setiap individu yang terkait.
Pada titik itulah teknologi diam-diam menuntut kita untuk menyerahkan kebebasan pribadi kita secara penuh dan total kepadanya.
Logika teknologi
Media dan teknologi selalu memanipulasi citra diri, nilai-nilai, dan persepsi penggunanya. Internet mengaburkan batas-batas antara yang nyata dan virtual. Namun, kebingungan serta kesimpangsiuran mengenai kenyataan terjadi bukan karena ketidakberdayaan manusianya, tetapi terutama karena ia telah melupakan bagaimana menyikapi kemajuan teknologi secara etis.
Bugeja menandaskan, kini manusia hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia nyata dan virtual. Karena itu, tubuh biologis dan ”tubuh teknologis” merupakan hal tak terhindarkan bagi generasi digital kiwari.
Risikonya, semakin seseorang bergantung kepada kecerdasan teknologi, semakin cepat pula ia kehilangan perspektif antara apa yang sungguh- sungguh nyata dan kenyataan virtual.
Sistem algoritme juga memungkinkan korporasi atau lembaga pemerintahan untuk menghubungkan secara kilat berbagai data personal, psikologis, dan sosiologis jutaan pengguna internet demi kepentingannya.
Cara kerjanya pun sederhana. Ketika seseorang menyalakan ponsel pintar, sebetulnya ia telah menyepakati kontrak dengan mesin. Ia mengizinkan teknologi tersebut untuk melacak keberadaan dirinya sebagai kompensasi atas layanan ponsel yang ia gunakan.
Bayangkan mekanisme tersebut terjadi pada segala macam teks, foto, video via aplikasi Twitter, Snapchat, Whatsapp, Instagram, ataupun dokumen-dokumen yang tersimpan dalam komputasi awan.
Walhasil, muncullah narasi digital mengenai si pengguna. Mulai dari gaya hidup, pandangan politik, kondisi kesehatan, kondisi keuangan, kehidupan seks, hingga apa yang ia hasrati. Dan data tersebut menjadi milik mesin.
Menurut Bugeja, budaya konsumsi dalam era mahadata bersifat dominan karena manusia menghilangkan pertanyaan kritis ”mengapa” dalam keseharian hidup. Tanpa pertanyaan ”mengapa”, seseorang dapat mereduksi sesamanya sekadar sebagai angka dan data.
Hilangnya sikap kritis untuk menelusuri duduk perkara akan menghadirkan wacana yang tercerai-berai. Warganet cenderung memercayai segala informasi yang tersedia di internet, termasuk berita bohong atau fakta alternatif yang cocok dengan pilihan gaya hidup dan pandangan politiknya sendiri.
Tidak hanya itu, jurnalisme opini tumbuh subur. Fakta ditinggalkan dan digantikan oleh hoaks, teori konspirasi, video viral, atau dokumen tidak sahih.
Berhadapan dengan situasi demikian, Bugeja menyerukan kembali prinsip integritas sebagai nilai universal. Tujuan etika adalah mengharmoniskan polaritas antara hati nurani dan rasio. Ketika dua unsur itu mampu bekerja sama, manusia menjadi utuh, mawas diri, dan tahu cara menyelesaikan persoalan.
Bugeja menarik perhatian pembaca dengan refleksi etis: apa artinya memiliki pikiran yang manusiawi? Apakah pikiran manusia dengan segala kerumitannya hanya sekadar mesin yang kompleks? Itulah tantangan Bugeja yang perlu dijawab oleh generasi teknologi.
YULIUS TANDYANTO Alumnus STF Driyarkara