JAKARTA, KOMPAS - Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh pemerintah dinilai bukan bentuk kriminalisasi, tetapi langkah dalam menegakkan hukum.
"Kriminalisasi itu terjadi kalau tidak ada satu regulasi atau aturan yang dipidanakan. Sementara yang terjadi saat ini ada undang-undangnya, ada perbuatannya, ada pertanggungjawabannya, sehingga tidak ada makna kriminalisasi itu," ujar Suparji Ahmad, pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, dalam diskusi bertajuk "Penegakan Hukum vs Kriminalisasi", di Jakarta, Jumat (22/2/2019) siang.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Barisan Advokat Indonesia (Badi) itu, hadir pula sebagai pembicara, Kepala Bagian Temuan dan Laporan Pelanggaran Badan Pengawasan Pemilu Yusti Erlina, Anggota Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Heru Saputra, dan Ketua Presidium Badi Andi Syafrani.
Suparji menjelaskan, kriminalisasi terjadi jika perbuatan seseorang yang tidak memiliki ketentuan hukum kemudian dibuatkan dalam suatu regulasi sehingga perbuatan itu menjadi sebuah pidana atau tindakan kriminal.
\'"Proses yang terjadi selama ini adalah penegakan hukum. Kalau kemudian hakim menyatakan bersalah dan mekanisme kontrol horizontalnya sudah dilalui, maka sebenarnya kriminalisasi tidak terjadi," ujar Suparji.
Diskusi ini mengemuka setelah ada anggapan bahwa upaya penegakan hukum terhadap tokoh-tokoh yang dianggap kritis dan berseberangan dengan pemerintah dituduh sebagai bentuk kriminalisasi oleh kelompok yang antipati terhadap pemerintah.
Selain itu, kata Suparji, wacana atau narasi mengenai kriminalisasi juga mencuat karena UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) memiliki definisi luas dan multitafsir, sehingga penegak hukum tidak secara cepat dan tepat mentersangkakan orang.
Suparji menyatakan, penegakan hukum atas regulasi yang memiliki pasal "karet" ini tetap harus condong pada independensi serta tidak bersifat diskriminatif. Selain itu, penegakan hukum harus bersifat autentik sesuai regulasi dan tidak dipengaruhi oleh preferensi politik.
"Jadi, perlu dibangun semangat tidak ada diskriminasi sehingga penegakan hukum berjalan secara adil, pasti, dan bermanfaat," pungkasnya.
Ketua Badi Andi Syafrani mengatakan, dalam negara demokrasi hukum tidak boleh diskriminatif dan berlaku untuk siapa saja. Kedudukan semua orang pun diperlakukan sama di mata hukum.
"Itu adalah prinsip dari konstitusi kita bahwa jika di dalam praktiknya ditemukan hukum tebang pilih, hal itu perlu dikritisi, baik di zaman pemerintahan apapun dan siapapun presidennya, hal itu tidak boleh terjadi," kata Andi. (DIONISIO DAMARA)