Tantangan Menuju Pemilu yang Berkualitas
Kurang dari dua bulan jelang hari pemungutan suara, beberapa persoalan masih membayangi penyelenggaraan Pemilu 2019; baik dari sisi teknis terkait durasi, kompleksitas penghitungan suara, ancaman hilangnya hak pilih, maupun debat yang belum benar-benar mencerahkan para calon pemilih. Perlu berbagai terobosan kebijakan yang dapat menjaga kualitas pemilu.
Mekanisme penghitungan surat suara di tempat pemungutan suara (TPS) menjadi salah satu persoalan yang mendapat perhatian lebih jelang Pemilu 2019.
Dengan digelarnya pemilu Presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg), panitia pemungutan suara (PPS) harus menghitung lima lembar surat suara, yaitu surat suara calon presiden-wakil presiden, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.
Pada Pasal 52 ayat 6 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019, telah ditetapkan bahwa penghitungan suara akan diawali dari surat suara pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Proses penghitungan suara pada pemilu serentak mendatang menjadi aspek yang harus benar-benar diawasi, terlebih lagi pada surat suara anggota legislatif.
Perhatian publik yang cenderung terpusat pada pemilihan presiden-wakil presiden akan menyita energi yang diperlukan untuk mengawasi pileg. Ada potensi penghitungan surat suara anggota legislatif akan tidak akan seketat penghitungan surat suara pilpres.
“Saya khawatir setelah penghitungan suara pilpres, ada pihak-pihak di TPS berkurang konsentrasinya. Semakin terbuka lebar potensi kecurangan,” kata pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ady Prayitno di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (22/2/2019).
Caleg daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta III dari PDI-P, Effendi Simbolon, juga menyuarakan pandangan yang serupa. Bahkan, ia khawatir penghitungan empat surat suara lainnya dapat terlantar dan ditinggalkan apabila dalam penghitungan surat suara presiden-wakil presiden pada suatu TPS ada pihak-pihak yang tidak puas dengan proses penghitungan suara.
“Mudah-mudahan tidak terjadi, tetapi bagaimana kalau terjadi chaos (dalam penghitungan surat suara pilpres)? Akibatnya bisa-bisa PPS tidak menghitung pileg. Enggak sah nanti Senayan (parlemen) ini,” kata Effendi.
Di sisi lain, problematika semakin berat dengan kewajiban PPS untuk menyelesaikan penghitungan suara pada hari yang sama, sesuai dengan PKPU.
Pasal 5 PKPU 3/2019 mewajibkan penghitungan suara dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama dengan pelaksanaan pemungutan suara di TPS. Dengan demikian penghitungan suara sudah harus selesai sebelum tengah malam.
Menurut catatan Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh KPU, penghitungan di TPS diperkirakan baru dapat selesai jelang tengah malam (Kompas, 15/2/2019).
“Untuk itu, mungkin peraturan ini harus dilihat kembali. Harus dihitung betul apakah ini memungkinkan,” kata Effendi.
Persoalan lain yang berpotensi mengancam penyelenggaraan pemilu yang berintegritas adalah kemungkinan hilangnya hak pilih para pemilih yang berpindah TPS. Pasal 344 Undang-Undang Pemilu hanya memungkinkan jumlah surat suara untuk pemilih tambahan adalah sebanyak dua persen, atau enam lembar surat suara.
Hal ini menjadi persoalan serius di TPS yang berlokasi di sekitar perusahaan perkebunan dan pertambangan yang jumlah pekerjanya ribuan dan tinggal berjauhan dari TPS di permukiman penduduk. TPS di daerah tersebut mendapat tambahan pemilih hingga 300-500 orang. (Kompas, 22/2/2019).
Baca juga: Pemilih Pindahan Menumpuk di Daerah
Dengan demikian untuk menanggulangi persoalan-persoalan ini perlu ada terobosan dari pemerintah ataupun penyelenggara pemilu.
Salah satu rencana yang sedang dipersiapkan adalah penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur oleh Undang-Undang Pemilu.
Direktur Relawan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, Perppu perlu dipersiapkan dengan transparan dan melibatkan seluruh stakeholder kepemiluan, termasuk partai politik sebagai peserta. Penerbitan Perppu oleh pemerintah dalam waktu mendekati hari pemungutan suara dapat dianggap sebagai sebuah langkah politik.
Selain berbagai persoalan teknis, tantangan mewujudkan pemilu berintegritas juga mencakup berbagai proses kampanye jelang pemilu itu sendiri.
Salah satu founding fathers Amerika Serikat, Thomas Jefferson, mengatakan bahwa publik yang terinformasikan dengan baik adalah prasyarat demokrasi (well-informed electorate is prerequisite to democracy).
Harapan bahwa debat Pemilu Presiden dapat memberikan informasi yang cukup bagi publik terhadap visi-misi dan program pasangan calon presiden-wakil presiden ternyata hingga saat ini belum terpenuhi, menurut Ady.
Dalam dua kali debat presidensial yang sudah digelar, mekanisme debat dinilai Ady menjadi penghalang utama bagi munculnya perdebatan yang berkualitas.
Pada debat pertama, kisi-kisi pertanyaan yang disampaikan terlebih dahulu kepada tim sukses masing-masing paslon membuat debat menjadi datar. Sedangkan pada debat kedua, meski ada pertambahan kualitas debat tetapi durasi waktu yang pendek membuat masing-masing paslon tidak dapat memberikan penjelasan yang komprehensif.
Ady berharap pada penyelenggaraan debat-debat selanjutnya, durasi waktu perdebatan lebih panjang.
“Nanti akan terlihat siapa yang benar-benar jagoan dan siapa yang hanya beretorika. Dalam sisa waktu yang singkat ini, kita pemilih ingin menikmati perdebatan yang berkualitas. Belum kita terima tawaran gagasan pembangunan Indonesia oleh kedua paslon,” ucap dia.
Paradigma kampanye selama ini pun dinilai Ady tidak tepat. Masyarakat hanya didekati setiap lima tahun sekali. Pendekatan itu pun hanya dilakukan dalam bentuk-bentuk yang artifisial dan cenderung logistik, seperti pembagian sembako, pemberian karpet masjid, atau bingkisan-bingkisan lain.
“Jadi visi misi Jokowi dan Prabowo itu susah sekali ditangkap oleh mereka yang di bawah,” kata Ady.
Segala kompleksitas penyelenggaraan pemilu, termasuk munculnya konsep pemilu serentak ini, menurut Ady, berasal dari sebuah persoalan yang mendasar, yakni pada proses pembuatan Undang-Undang Pemilu.
Selama ini UU Pemilu diciptakan hampir setiap lima tahun sekali, dengan menghasilkan sistem pemilu yang terus berubah-ubah.
“UU Pemilu kita yang diubah sesuai selera ini menjelaskan mengapa sistem kita selalu berubah, bahkan komposisi dapil juga berubah,” katanya.
Dengan demikian, tanggung jawab pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak hanya berada pada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu tetapi juga para pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah, DPR, partai politik, dan terutama masyarakat juga.