Mereka yang tinggal di kawasan Tangerang Selatan ada satu nama jalan, tepatnya perempatan, yang cukup populer. Orang mengenal perempatan antara Jalan Raya Puspitek–Jalan Raya Pasar Jengkol–dan Jalan Ciater-Bar itu sebagai Perempatan Viktor. Bahkan, di Peta Google pun nama tersebut tertera sehingga selain disebut banyak orang, berbagai media pun mengutip lokasi yang berada di Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu dan Kelurahan Buaran tersebut sebagai Viktor.
Mereka yang dari arah BSD hendak ke Bogor bisa melalui perempatan ini. Dari situ via Jl Pasar Jengkol tembus ke Parung dan selanjutnya menuju Bogor. Perempatan tersebut termasuk sibuk dan hingga kini terbengkalai belum selesai. Tiang listrik, tiang kabel dengan kabel-kabel yang centang perenang berdiri di tengah jalan karena terlambat dipindahkan sejak jalan tersebut diperlebar. Sepertinya, beberapa waktu belakangan sudah mulai dibenahi.
Sejauh ini tidak ada cerita jelas mengapa perempatan tersebut. Apakah berasal dari mana seorang tokoh setempat atau seorang pahlawan seperti lazimnya nama sebuah jalan. Salah satu kisah yang disebut-sebut asal mula jalan tersebut adalah berasal dari nama sebuah bioskop pada tahun 1980-an yang berlokasi di sekitar perempatan tersebut. Namanya, bioskop Victory. Kompas masih sempat menyaksikan bekas bangunan bioskop tersebut sejak awal tahun 1990-an.
Selain salah satu bioskop yang pernah ada di Pasar Ciputat, bioskop Victory lumayan terkenal dan banyak orang dari dari berbagai daerah mendatanginya pada malam hari untuk menonton. Konon, biasanya orang sengaja jauh-jauh menonton film di bioksop tersebut karena film yang diputar umumnya film dewasa.
Nah, kenek angkutan kota biasanya langsung berteriak jika tiba di perempatan tersebut. “Piktor !... Piktor….! Silakan turun!,” teriaknya.
Kata “piktor” itu ada yang menyebut merupakan kependekan dari nama bioskop Victory. Tetapi sebagian orang lebih percaya jika kondektur angkot yang meneriakkan kata itu sebenarnya menyingkatnya dari “pikiran kotor”.
Kata-kata itu ditujukan kepada penumpangnya yang akan menonton bioskop “esek-esek”. Sejak itu perempatan tersebut terkenal dengan nama “Viktor” atau “Piktor”.
Entahlah, yang pasti nama Perempatan Viktor sudah melekat dan diingat masyarakat. Sejauh ini, sepertinya Pemerintah Kota Tangerang Selatan pun belum terdengar akan memberi nama lain yang resmi untuk kawasan tersebut.
Atau, mungkin akan “mematenkannya” sebagian bagian dari sejarah Kota Tangsel. Yang jelas, jalanan di Perempatan Viktor tersebut kini mulai diperlebar dari arah BSD. Kemacetan yang setiap pagi biasa terjadi di sana mungkin akan segera teratasi.
Jalanan tersebut menjadi alternatif bagi mereka dari arah BSD atau Tangerang yang ingin menuju Bogor tanpa melalui jalan Tol Jagorawi. Seperti juga umumnya jalan tol lain, walaupun sudah membayar dan disebut bebas hambatan, jalanan dari arah BSD atau Tangerang via Tol Lingkar Luar Jakarta menuju Jagorawi setiap hari tetap macet merayap dan penuh truk-truk besar yang bergerak seperti keong.
Mungkin kelak bisa saja nama Viktor atau Piktor itu akan berubah jika ada pengembang yang membangun properti—perumahan, apertemen atau rumah susun, yang terus bertumbuh di Tangerang Selatan dan sekitarnya. Sudah mafhum, pengembang bisa mengubah-ubah nama perumahan dan “menghapus” nama asli setempat. Apartemen di Stasiun Rawabuntu pun misalnya, tidak diberi nama Apartemen Rawabuntu. Pengembang menamainya Mahata.
Begitu pula pengembang Bumi Serpong Damai yang kini menamakan diri “BSD City”. Di situ misalnya hanya akan ditemui nama-nama kawasan seperti The Breeze, Saveria, De Park, Foresta Greenwich, Avani hingga Vanya Park atau Vermont Parkland.
Begitu pula di kawasan Gading Serpong. Di kawasan tetangga BSD ini hanya akan ditemui nama-nama kawasan Martinez Residence, Mozart Residence, Vivaldi hingga South Goldfinch Commercial. Atau di Alam Sutera, kita akan menemui Silkwood Residence atau Paddington Heights Apartement Towers.
Nama-nama asli kawasan seperti Pagedangan, Cihuni, Cijantra hingga Kunciran atau Setu, Krangan, Muncul di Tangerang Raya hanya nama-nama tempat yang tersimpan di catatan administratif atau peta topografi setempat. Apa yang terjadi di Tangerang ini terjadi juga di kawasan Jabodetabek lainnya. Ke depannya, generasi mendatang mungkin tidak akan pernah tahu apa nama sebenarnya tempat tinggal mereka.