Berwisata religi untuk meresapi indahnya toleransi antarumat beragama tidak perlu jauh-jauh hingga keluar negeri. Anda hanya perlu datang ke pinggiran Kota Bekasi. Di wilayah yang dikenal sebagai Kampung Sawah itu, masyarakat berbagai agama telah hidup rukun, lebih dari satu abad.
Kampung Sawah merupakan kawasan yang berada di tiga kelurahan, yaitu Jatimurni, Jatimelati, dan Jatiwarna, Kecamatan Pondok Melati. Meski termasuk wilayah Kota Bekasi, kawasan itu lebih mudah diakses dari Jakarta. Jaraknya sekitar 9 kilometer (km) dari terminal bus Kampung Rambutan dan sekitar 3 km dari pintu Tol Jatiwarna.
Namun, perjalanan menuju ke sana tidak bisa mengandalkan kendaraan umum. Dari Terminal Kampung Rambutan, hanya ada satu trayek angkutan umum dengan jumlah armada yang tak banyak. Waktu tunggu angkutan umum mencapai 15 menit.
Meski sulit dijangkau, Kampung Sawah layak didatangi karena menjunjung tinggi toleransi. Di Jalan Raya Kampung Sawah, Masjid Al Jauhar Fisabilillah, Gereja Kristen Pasundan, dan Gereja Katolik Santo Servatius berdiri berdampingan dalam radius 20 meter. Baik gereja maupun masjid juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan yang bercorak keagamaan.
Ketiga rumah ibadah itu bisa dikunjungi kapan saja, para pengurusnya pun dengan senang hati menerima tamu. Di setiap tempat pengunjung akan merasakan betapa kuatnya budaya Betawi. Bukan hanya pada ornamen bangunan, melainkan juga pada dialek, pakaian, dan tata ibadah.
Kepala Bidang Pendidikan Yayasan Fisabilillah Nur Ali Akbar di Bekasi, Sabtu (23/2/2019), mengatakan, bahkan pagar kompleks Yayasan Fisabilillah berbatasan langsung dengan Gereja Kristen Pasundan. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika ibadah yang dilakukan sehari-hari selalu terasa seperti bersahut-sahutan dengan indah.
“Setiap kami hampir selesai salat subuh berjamaah, suara nyanyian doa dari Gereja Kristen Pasundan terdengar dimulai,” kata Ali. Selain itu, suara azan dan dentang lonceng dari Gereja Katolik Santo Servatius yang berjarak tak sampai 100 meter bersahutan setiap hari.
Selain waktu ibadah, atribut yang mereka gunakan untuk beribadah pun sama, contohnya, Nalih (55). Sesepuh warga Kampung Sawah itu mengenakan baju koko, celana panjang, songkok, dan menyampirkan lipatan sarung di lehernya saat hendak mengikuti misa di Gereja Katolik Santo Servatius.
Hal serupa juga wajib dilakukan oleh pastor yang bertugas di sana. “Terlepas dari agama yang dianut, kami adalah masyarakat Betawi. Kami ingin berperan melestarikan bukan malah ikut memusnahkan budaya Betawi,” kata Nalih.
Oleh karena itu, dibuat pula misa berbahasa Betawi khas Kampung Sawah. Aktivitas tersebut dilakukan setiap bulan dan dalam kesempatan penting, contohnya ulang tahun gereja.
Satu abad
Hiskia Ekatana Dani (40) generasi keempat warga Kampung Sawah sekaligus pengurus harian Majelis Gereja Kristen Pasundan, mengatakan, kerukunan antarumat beragama di sana sudah terbina lebih dari satu abad.
Gereja didirikan bersamaan dengan pembaptisan pertama warga Kampung Sawah pada 1874. Dua puluh dua tahun selanjutnya, berdiri pula Gereja Katolik yang juga bersamaan dengan pembaptisan pertama warga.
Sementara itu, agama Islam sudah masuk lebih dulu dari kedua agama tersebut. Penganut agama yang berbeda itu pun terjadi pada sebagian besar keluarga yang ada di sana. Bukan hal asing dalam satu keluarga terdapat sejumlah penganut agama yang berbeda-beda.
“Engkong saya selalu bilang, terserah lu mau beragama apa saja, yang penting jadi orang bener (taat aturan),” ujar Hiskia.
Ia menambahkan, sebagian besar warga Kampung Sawah pun masih memiliki ikatan saudara. Mereka diwadahi garis kekerabatan paternalistis dengan marga-marga, di antaranya Niman, Rikin, Saiman, Dani, dan Napiun. Kesadaran bahwa setiap warga berasal dari keluarga yang sama membuat mereka selalu akur, merasa malu berseteru.
Meski demikian, perseteruan bukan tidak pernah terjadi. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, terjadi peristiwa gedoran. Semangat mengusir penjajah membuat sebagian orang melakukan hal serupa pada penganut Kristen dan Katolik, karena dianggap sebagai bagian dari Belanda. Hal tersebut menimbulkan efek trauma pada sebagian orang.
“Akan tetapi, tidak terjadi sentimen berkepanjangan karena warga menyelesaikan masalah dengan dialog. Sejak saat itu pula, warga Kampung Sawah terbiasa berdialog untuk mengambil keputusan,” kata Hiskia.
Nalih menuturkan, tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang. Setiap tahun, warga memiliki program ngeriung atau berkumpul bersama untuk membahas berbagai persoalan. “Namun, kami tidak pernah membicarakan soal agama. Kami berfokus pada kearifan lokal dan cara memeliharanya,” ujar dia.
Menurut Ali, meski memiliki akar dan sejarah yang kuat, perkembangan zaman merupakan tantangan berat bagi warga. Jika tidak dijaga, nilai-nilai toleransi bisa luntur. Oleh karena itu, mereka membentuk wadah kegiatan bernama Paguyuban Umat Beragama dan Suara Kampung Sawah untuk para pemuda.
Wisata-wisata toleransi itu bisa menjadi alternatif, sekaligus menengok semangat luhur yang dibangun warga di pinggiran Kota Bekasi itu. Dalam praktik kebudayaannya, mereka mengingatkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara sudah semestinya sejuk meski di tengah perbedaan.