Perlombaan Senjata Belum Mengkhawatirkan
Asia sedang mengalami peningkatan pengeluaran untuk persenjataan. Antisipasi akan kekuatan militer China membuat Asia terlibat peningkatan persenjataan. Apakah hal ini murni terjadi karena ketakutan akan China? Ataukah semua itu hanya merupakan sebuah perkembangan alamiah tetapi telah membuat AS dan koalisinya di Asia ketakutan?
“Ada satu persepsi umum global tentang potensi ketidakstabilan dan ancaman soal militerisasi yang meningkat di Asia,” kata Siemon Wezeman, peneliti senior dari Stockholm International Peace Research Institute.
Militerisasi di satu negara menuntut kesiapan militer tandingan. Kesiapan soal kekuatan militer untuk menandingi. Sekarang ini perlombaan soal kekuatan senjata lebih intensif ketimbang lima hingga sepuluh tahun lalu.
“Setiap orang bereaksi atas apa yang dilakukan orang lain dan berbagai pihak saling berargumentasi soal siapa yang memicu persenjataan. Dan pihak lain tidak mau ketinggalan atas kecenderungan yang sedang terjadi di negara pemicu. Lebih bagus bertindak aman ketimbang keteter atau seperti ungkapan lain, ‘Jika ingin damai siaplah perang’,” kata Wezeman.
Akan tetapi Wezeman mengatakan kekhawatiran itu masih merupakan persepsi. Dalam kenyataannya, kenaikan pengeluaran untuk persenjataan belum fenomenal. Hal ini bisa dilihat dari anggaran persenjataan yang terkendali.
Di banyak negara di Asia, pengeluaran untuk persenjataan mengikuti tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain proporsi pengeluaran militer masih datar jika dilihat dari persentasenya terhadap produk domestik bruto (PDB). “Proporsi ini tidak berubah secara substansial atau tidak mencapai tingkat yang meninggi seperti di era Perang Dingin,” kata Wezeman.
Sebuah artikel berjudul “Why Asia\'s \'arms race\' is not quite what it seems” muncul. Artikel ini ditulis oleh Tim Huxley, Direktur Eksekutif International Institute for Strategic Studies (Asia) Ltd pada 12 September 2018 di situs World Economic Forum.
Menurut Huxley, berdasarkan data IISS, dalam 25 tahun terakhir persentase pengeluaran persenjataan tetap relatif datar. Dibandingkan dengan PDB, persentase pengeluaran untuk persenjataan di bawah empat persen selama periode 1983 – 2018. Huxley juga menyimpulkan peningkatan kualitas dan persenjataan di Asia tidak menakutkan.
AS mengganggu Asia
Bahkan Huxley menuliskan, kestabilan Asia malah sedikitnya justru dikacaukan oleh AS. Ini turut memicu ketakutan yang membuat kawasan berpikir soal peningkatan atau perlombaan senjata.
“Kolegaku Ben Schreer dan saya berargumentasi, kebijakan America First yang dicanangkan Presiden Donald Trump dengan pesannya yang membingungkan telah mengakibatkan kekacauan lebih jauh. Ini memengaruhi kestabilan kawasan,” kata Huxley. (Why Asia\'s \'Arms Race\' is not Quite What It Seems)
Benjamin (Ben) Schreer adalah seorang profesor bidang studi keamanan di Macquarie University, Sydney.
Meski demikian di Asia sendiri berdasarkan pengamatan lebih dalam menunjukkan tidak ada persaingan militer bilateral yang menegangkan. Tidak ada percepatan klasik tentang kemampuan tempur, seperti yang pernah terjadi antara Jerman dan Inggris soal superioritas Angkatan Laut di awal Abad ke-20.
Baca juga:
China Memicu Persenjataan di Asia?
Kini di Asia, juga tidak terlihat persaingan soal superioritas seperti yang pernah terjadi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Data International Institute for Strategic Studies (IISS) menunjukkan kekuatan militer China masih jauh dari mumpuni untuk menyaingi kekuatan AS militer di kawasan Indo-Pasifik.
Demikian pula dengan negara-negara lain di kawasan, tidak ada yang mampu menyaingi kekuatan militer China. Ini menunjukkan relatif tidak ada eskalasi persenjataan di Asia. Lebih dari itu kekuatan militer di Asia tidak memadai untuk melakukan serangan besar ke negara lain.
Jawaban China
Bagaimana China menjawab segala tudingan terhadapnya, termasuk dugaan militerisasi yang menakutkan kawasan atau dunia? Pada 16 Februari 2019 kantor berita The Associated Press menuliskan keterangan dari diplomat China, yang turut hadir pada Munich Security Conference ke-55.
Di konferensi ini Jerman juga mengungkit soal kekhawatiran soal persenjataan China. Hal serupa pernah diutarakan pada konferensi serupa tahun 2018 oleh Menlu Jerman saat itu, Sigmar Gabriel, yang secara sarkas menuding China.
Data International Institute for Strategic Studies (IISS) menunjukkan kekuatan militer China masih jauh dari mumpuni untuk menyaingi kekuatan AS militer di kawasan Indo-Pasifik.
Kali ini Kanselir Jerman Angela Merkel memohon China bergabung dengan traktat kontrol persenjataan yang ada di era Perang Dingin (1987 INF Treaty) dan masih berlaku. Merkel mengatakan traktat tersebut akan bisa mengendalikan persenjataan China.
“Perlucutan senjata merupakan kepentingan kita semua dan tentu sangat baik jika traktat ini tidak hanya diikuti Eropa, AS, dan Rusia tetapi juga China,” kata Merkel.
Pihak China langsung menolak dengan mengatakan kontrol seperti itu akan membuat China memiliki kemampuan persenjataan yang tidak adil. Hal ini disampaikan Yang Jiechi, anggota Komite Pusat Biro Politik Partai Komunis China (CPC), juga diplomat China
“China mengembangkan kemampuannya benar-benar sesuai kebutuhan untuk pertahanan dan tidak menjadi ancaman bagi siapapun. Jadi kami menentang multilateralisasi INF,” kata Yang. (AP/AFP/REUTERS)