Tetap Setia Meramu Jamu
Selama 15 tahun, Erwin Dianawati, warga Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, setia berkutat di dunia jamu. Tiga tahun yang lalu, Diana hanya menjual bahan baku jamu. Kini, ia mengembangkan sayap, memproduksi jamu sendiri.
Tempaan pengalaman perihal bahan-bahan herbal menjadi modal membuat jamu “biasa” dengan tambahan aneka bahan yang memberi ciri berbeda. Jamu itu diberi label Racik Sewu.
Nama Racik Sewu dipilih untuk menggambarkan beraneka ragam bahan herbal yang diracik, yang akhirnya memberi khasiat dan tambahan rasa berbeda. Jamu Racik Sewu diproduksi dalam empat varian rasa, yaitu kunyit, kunyit asam, beras kencur, dan gula asam. Empat jenis jamu tersebut biasa dijual pedagang jamu keliling dan biasa dikonsumsi masyarakat.
Produk pasaran itu dikembangkan Diana agar memiliki ciri khas dan khasiat tambahan.
Untuk produk beras kencur, misalnya, Diana tak sekadar meramu dari bahan-bahan seperti beras, gula, dan kencur. Namun, ia juga menambahkan sejumlah bahan lain, seperti kayu manis. Tambahan bahan tersebut, menurut dia, bisa membantu menyehatkan dan mengatasi kondisi tubuh yang kurang fit saat flu.
Untuk kunir asem atau kunyit asam, Diana menambahkan bahan-bahan lain sehingga jamu tersebut memiliki khasiat tambahan.
Empat varian jamu ini dibuat dalam bentuk racikan jamu segar di dalam botol berukuran 250 mililiter (ml) dan jamu serbuk yang bisa dikonsumsi setelah dicampur air, seperti jamu instan. Jamu di dalam botol atau jamu botolan harus segera dikonsumsi karena hanya bertahan segar selama 15 jam. Jamu ini dipasarkan untuk melayani permintaan pelanggan di Magelang, Semarang, Solo, dan sekitarnya. Adapun jamu serbuk khusus dibuat untuk pelanggan dari luar Jawa, bahkan sudah dikirim ke berbagai kota di Pulau Sumatera dan Kalimantan seperti Tenggarong, Samarinda, Aceh, dan Sawahlunto. Akses pasar Racik Sewu cukup luas karena Diana memasarkan produknya secara dalam jairngan melalui media sosial dan platform perdagangan elektronik, seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak.
Dari geliat usahanya itu, Diana meraup omzet sekitar Rp 2 juta per hari. Setiap hari, ia membutuhkan 5 kilogram aneka bahan herbal. Dari bahan-bahan itu, dihasilkan 100-150 botol jamu per hari. Adapun jamu serbuk hanya diproduksi pada Sabtu dan Minggu, sekitar 2 kg jamu per hari.
Memulai usaha
Diana lahir di lingkungan usaha jamu. Ayahnya adalah agen produk jamu pabrikan dan ibunya berdagang bahan baku jamu di Pasar Muntilan, Kecamatan Muntilan, Jateng. Menginjak bangku sekolah menengah atas, ia mulai membantu usaha ibunya di pasar. Hal itu dilakukannya hingga menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.
Diana yang larut dalam kesibukan membantu ibunya memutuskan berhenti kuliah pada semester II. Ia fokus membantu ibunya berdagang. Dua tahun kemudian, ibunya menyerahkan kendali aktivitas perdagangan ke tangan Diana, hingga kini.
Dari usaha ibunya itulah, Diana benar-benar fokus menggeluti dunia obat-obatan herbal. Sembari belajar dan bertanya kepada pedagang dan penyuplai bahan-bahan herbal, dia memperkaya diri dengan cara menjalin relasi dengan komunitas pedagang tanaman herbal. Tak ketinggalan, mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk internet. Semua pengetahuan tersebut digunakan untuk memperkaya ketersediaan bahan baku jamu di kios miliknya di pasar.
Tiga tahun lalu, aktivitas perdagangan di pasar sempat terganggu karena Pasar Muntilan ditutup untuk proses renovasi. Diana memindahkan aktivitas perdagangan ke rumah. Di selal-sela aktivitasnya, ia mulai membuat jamu sendiri. Modalnya Rp 1,5 juta, yang disisihkan dari hasil berdagang bahan baku jamu.
Jamu dalam kemasan botol itu dibuat bersama tiga karyawannya. Lantas, dijual secara daring.
Saat ini, selain empat jenis jamu yang sudah biasa diproduksi, Diana juga membuat jamu sesuai permintaan pelanggan. Kadang kala, ia juga menerima permintaan untuk membuat lulur dan bedak.
Kendati usahanya terus berkembang, Diana tak berpuas diri. Ia selalu mencoba bahan-bahan herbak baru untuk meracik obat, kemudian dicicipi sendiri.
“Untuk mengetahuai khasiatnya bagi tubuh, saya terbiasa mencicipi kemudian mencoba merasakan apa dampaknya bagi tubuh,” ujarnya.
Usahanya menyempurnakan jamu juga melalui diskusi dengan puteranya, yang saat ini kuliah di jurusan farmasi. “Dengan anak, saya selalu berdiskusi bagaimana agar produk jamu yang saya buat tetap aman dan berkhasiat bagi pelanggan,” ujarnya.
Dengan tambahan ilmu dan informasi dari puteranya, Diana berupaya membuat produk-produk baru untuk menjangkau semakin banyak pelanggan dari berbagai kalangan. Tak hanya pengguna pribadi, namun Diana juga membidik salon kecantikan sebagai konsumen.
Kini, ia berharap, puteranya menutaskan pendidikannya saat ini, bahkan bisa lebih tinggi. Dengan latar belakang pendidikan farmasi, Diana berharap puteranya bisa membantu mengembangkan, bahkan meneruskan usaha jamunya. Tentu, dengan membuat produk-produk yang lebih inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat.