Renungkan kembali jika ingin menyusuri delapan kabupaten pesisir selatan Jawa Timur. Banyak lokasi “kemacetan” di Jalan Lintas Selatan penghubung Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan. Kemandekan dimaksud bukan atau sejatinya belum terkait dengan lalu lintas melainkan program pembangunan prasarana yang juga disebut Jalur Pantai Selatan itu.
Jalan Lintas Selatan (JLS) diinisiasi pada 2002 oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Jalur Pantai Selatan (Pansela) menghubungkan pesisir “kidul” Pulau Jawa yakni Banten, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, dan Jatim. Di Jatim, jaringan prasarana ini segera dikerjakan. Pengerjaan proyek JLS dimulai dengan nota kesepahaman pada 2003 antara Gubernur Jatim Mayor Jenderal (Purn) Imam Utomo dan delapan bupati pesisir selatan provinsi bermotto “Jer Basuki Mawa Beya” saat itu.
Sampai dua periode pemerintahan Imam, mantan Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, berakhir pada 2008, jaringan prasarana yang direncanakan sepanjang 678 kilometer (Km) itu tidak selesai. Kemudian, provinsi berjuluk “Brang Wetan” ini berlanjut dengan kepemimpinan Gubernur Jatim Soekarwo yang sebelumnya menjabat Sekretaris Provinsi Jatim. Namun, dua periode rezim Soekarwo yang berakhir Februari 2019, Jalur Pansela juga belum selesai.
Sejak 13 Februari 2019, kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Perempuan pertama yang menjabat Gubernur Jatim ini diwarisi rencana Jalur Pansela sepanjang 678 Km tetapi baru terwujud 374 Km atau 55 persen. Bagaimana menyelesaikan yang 304 Km atau 45 persen lagi? Akankah ibu empat anak yang pernah menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial ini mampu?
Kurun 16 tahun sejak nota kesepahaman, JLS yang terwujud baru 374 Km. Artinya, dalam setahun, Jalur Pansela yang dibangun rata-rata sepanjang 23,4 Km. Jika kemampuan membangun JLS tidak ditingkatkan, jaringan prasarana ini baru selesai 13 tahun lagi. Apabila Khofifah ingin menyelesaikan dalam periode pemerintahan dengan asumsi lima tahun sejak pelantikan pada Rabu (13/2/2019), kemampuan membangun JLS harus ditingkatkan menjadi 61 Km per tahun.
Menantang
Pada 2005, beberapa kali Kompas menurunkan berita dan ficer tentang proyek JLS khususnya di Jatim. Benang merah termasuk yang penulis rasakan ketika itu sampai saat ini ialah seperti pepatah tidak semudah membalik telapak tangan. Jalur Pansela penuh lika liku seperti kondisi fisiknya yang meliuk mengikuti kontur perbukitan pesisir selatan.
Di antara delapan kabupaten di Jatim yang “harus” membangun JLS, hanya Pacitan yang sudah menyelesaikannya yakni 87,4 Km. JLS di Bumi 1001 Gua ini membentang dari Pantai Teleng Ria ke timur hingga Sudimoro (Pacitan) yang berbatasan dengan Panggul (Trenggalek). Ada beberapa segmen JLS yang benar-benar “mepet” dengan pantai yang menghadap Samudera Hindia itu terutama di wilayah Kecamatan Sudimoro. Bentang pantai ada yang berpasir putih, ada yang hitam terlihat dari kendaraan yang melintasi jalan dengan dua lajur itu. Lihatlah Pantai Soge, Pantai Tawang, atau Pantai Taman Hadiwarno.
Di Pacitan sendiri, sesungguhnya JLS belum bisa dikatakan selesai. Untuk kawasan Pantai Teleng Ria ke barat tembus Wonogiri (Jateng), belum dibangun jaringan prasarana “mepet” dengan pesisirnya. Deretan pantai yakni Srau, Watukarung, Klayar, Buyutan, Banyutibo, dan Kijingan hanya bisa dijangkau melalui “jalur lama” atau Jalan Nasional III dari Pacitan tembus Pracimantoro (Wonogiri) lalu masuk Jalan Kalak-Nampu melalui pertigaan Punung. Pantai Banyutibo atau Pantai Kijingan berjarak 7-8 Km di selatan Jalan Kalak-Nampu yang menghubungkan Kalak (Pacitan) dan Nampu (Wonogiri).
Kondisi geografis menjadi tantangan utama pembangunan JLS. Ini mengakibatkan beberapa kali perencanaan studi kelayakan, studi konstruksi, dan studi pembiayaan meleset. Memakai asumsi membalik telapak tangan, seharusnya membangun Jalur Pansela tidak terjal.
Kabupaten bertugas membebaskan dan menyiapkan lahan sesuai penentuan oleh provinsi. Selanjutnya, provinsi dan pusat berbagi tugas mengaspal lahan yang sudah dibebaskan itu. Nantinya, bisa dipahami apabila ada ruas JLS berstatus jalan provinsi dan ada yang berstatus jalan nasional. Namun, kenyataannya seperti kalimat meme yang viral di media sosial “tidak semudah itu ferguso”.
Bupati Pacitan Indartato pernah bercerita selesainya JLS di sana turut dipengaruhi oleh keberadaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memang kelahiran Pacitan dan mengakhiri pemerintahan dua periode pada 20 Oktober 2014.
Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak yang sebelumnya menjabat Bupati Trenggalek mengatakan, penyelesaian JLS perlu terobosan kebijakan misalnya perubahan desain trase jalan ketika program tersendat. Masalah penetapan lokasi turut menjadi kendala karena di kawasan selatan ada lahan konservasi dan komersial yang dikuasai oleh lembaga negara.
Misalnya, jika melalui kawasan Perum Perhutani, pemerintah daerah harus mencari lahan pengganti, mengurus izin pelepasan, hingga pembebasan. Lebih rumit jika melewati kawasan konservasi terutama cagar alam dan taman nasional. Selain itu, pembebasan lahan dari kepemilikan warga juga tidak mudah terutama dalam soal harga dan kerelaan pemilik lahan untuk melepaskan asetnya.
“Potensi pembengkakan anggaran karena kenaikan harga material juga harus diantisipasi,” kata Emil. Saat memimpin Trenggalek, ada penyiapan dana mewujudkan JLS senilai Rp 400 miliar dari Munjungan ke Tulungagung. Namun, setelah dicek ulang, pembangunan JLS dari Munjungan ke Prigi di Watulimo yang masih dalam wilayah Trenggalek memerlukan anggaran lebih dari dua kali lipat. Sebabnya, antara lain akibat kondisi geografis, harga material yang sudah naik, dan status kepemilikan lahan yang berbeda-beda.
Berpacu
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VIII I Ketut Darmawahana pernah mengatakan, pembangunan JLS pada 2019 dilanjutkan untuk ruas Prigi (Trenggalek) ke Klatak (Tulungagung) hampir 18 Km, ruas Serang (Blitar) hampir 13 Km, Balekambang-Kedungsalam (Malang) hampir 18 Km, dan ruas Jarit (Lumajang) ke Puger (Jember) hampir 24 Km.
Untuk empat ruas itu, anggaran yang disiapkan ialah Rp 1,7 triliun dari pinjaman Islamic Development Bank. Pengerjaan fisik proyek menghabiskan waktu sampai tiga tahun. Artinya, sampai 2021, jangan berharap bisa melewati JLS secara utuh di delapan kabupaten pesisir selatan Jatim. JLS bisa dinikmati dengan berkendara ‘putus-putus’ atau keluar masuk jalan raya yang sudah ada yang sudah tersambung dengan ruas Jalur Pansela.
Di era pemerintahan Khofifah-Emil, pembangunan JLS menjadi salah satu program unggulan dalam Nawa Bhakti Satya terutama Bhakti 4 Jatim Akses. Khofifah-Emil bertekad menyelesaikan “tunggakan” pembangunan JLS untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan selatan sehingga bisa bersaing dengan kawasan klasik Pantai Utara (Pantura) dan kawasan tengah.
Patut menjadi perhatian, sejarah perkembangan peradaban Jatim tidak dimulai di kawasan selatan tetapi di kawasan tengah ke utara mengikuti alur Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo. Namun, wilayah berbagai kerajaan yang pernah menguasai Jatim memang sampai pesisir selatan tetapi pusat pemerintahan dan pergerakan peradaban nyaris selalu berada dalam daerah aliran sungai.
Prasasti Dinoyo bertarikh 760 masehi merupakan yang tertua di Jatim dan ditemukan di Malang yang berada di kawasan tengah. Prasasti Dinoyo mengawali peradaban kerajaan yakni Kanjuruhan yang kemudian berlanjut di era Medang, Kahuripan, Dhaha, Tumapel, Singhasari, dan Majapahit yang pusat-pusatnya tidak di pesisir selatan.
Di era Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda di Jatim, pusat-pusat ekonomi lebih diutamakan di kawasan utara dan tengah dengan jaringan jalan yang sudah ada sejak lama dan dikembangkan. JLS di Jatim benar-benar jaringan prasarana baru yang penyelesaiannya ditunggu sekaligus berpacu dengan waktu.