Pesan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke kompleks pergudangan Perum Bulog Divisi Regional DKI Jakarta Banten di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (10/1/2019), sangat jelas. Pemerintah berupaya menjaga harga pangan, khususnya beras, di tingkat konsumen tetap stabil. Selain harga di pasar, Bulog diminta menjaga keseimbangan harga di tingkat produsen. Harapannya, masyarakat mendapat harga terbaik, tetapi petani tidak rugi.
Akankah harapan itu terwujud? Situasinya kini penuh tantangan, khususnya terkait stabilitas harga di tingkat produsen. Pertama, Bulog relatif “kenyang” awal tahun ini. Stok beras pada 12 Februari 2019 tercatat 1,99 juta ton atau sekitar separuh dari total kapasitas gudang. Dari jumlah itu, 1,84 juta ton atau 92,4 persen di antaranya adalah cadangan beras pemerintah (CBP), stok yang relatif besar dibandingkan situasi 10 tahun terakhir.
Kedua, panen raya padi musim tanam rendeng 2018/2019 berlangsung Maret-April 2019. Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian menyebutkan, potensi produksi beras dari 34 provinsi melonjak dari 2,4 juta ton Januari 2019, lalu 4,5 juta ton pada Februari 2019, dan 7,3 juta ton Maret 2019 ini. Oleh karena itu, potensi produksi beras selama Januari-Maret 2019 mencapai 14,2 juta ton.
Ketiga, pemerintah menargetkan perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan dari natura (beras) menjadi bantuan pangan non tunai (BPNT) mencapai 100 persen pada April 2019. Dengan demikian, Bulog akan kehilangan sebagian besar dari 2,5-3 juta ton saluran berasnya tahun ini. Stok CBP diperkirakan masih 1,65 juta ton setelah dikurangi stok yang wajib disalurkan untuk bantuan sosial beras sejahtera Januari-April 2019.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (1/3/2019), terkait nilai tukar petani (NTP) dan harga gabah Februari 2019, menjadi sinyal waspada. NTP tanaman pangan turun dari 107,58 pada Januari 2019 menjadi 106,72 pada Februari 2019. Harga gabah kering panen di tingkat petani turun dari Rp 5.220 per kilogram (kg) jadi Rp 5.114 per kg selama kurun waktu yang sama.
Harga beras, baik kualitas premium, medium, atau rendah, juga cenderung turun. Termasuk beras medium yang turun dari Rp 9.903 per kg jadi Rp 9.800 per kg. Situasi harga gabah di sebagian daerah sentra lebih rendah dari angka tersebut. Oleh karena itu, petani was-was bakal mendapat harga rendah saat mereka panen nanti.
Dalam situasi “kekenyangan” dan perubahan mekanisme bantuan pangan, daya serap Bulog sejatinya kendor dan fungsinya sebagai stabilisator harga di tingkat produsen terganggu. Pertanyaannya, apakah Bulog masih bertenaga untuk menyerap banjir produksi? Padahal, selain beras, petani juga tengah panen jagung. Jagung dan beras adalah sebagian komoditas pangan utama yang mesti dijaga pasokan dan stabilitas harganya oleh pemerintah.
Lalu, kepada siapa petani mesti menagih kewajiban pemerintah melindungi pendapatan dan daya beli mereka, sebagaimana amanat Undang-undang Pangan, jika fungsi dan peran lembaga yang mendapat tugas terganggu? Waktu mulai menghitung mundur. Jika tidak ada usaha ekstra dan segera, harga gabah dan pendapatan petani berpotensi turun lebih rendah.