Akal dan Hati
Lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya.
(Ali bin Abi Thalib)
Maaf, demokrasi semakin menjauh. Memang, ekspresi politik semakin menguat, tetapi orang lupa akan tanggung jawab moralnya. Memang, kebebasan bersuara semakin lantang diteriakkan, tetapi orang tak peduli dengan tanggung jawab sosialnya. Memang, demokrasi menjamin tegaknya hukum, tetapi banyak orang marah ketika hukum ditegakkan.
Memang, demokrasi semakin memperkuat partisipasi politik, tetapi praktiknya makin tumbuh watak-watak otoriter. Dulu, watak otoriter melekat pada diri mereka yang punya kuasa (legal-formal), tetapi sekarang membenih juga dalam diri mereka yang tak punya kuasa. Demokrasi mendidik keadaban dan kesantunan berpolitik, tetapi yang tumbuh justru watak-watak ketakberadaban: pembenci, penghasut, pemfitnah, dan sejenisnya.
Dalam konteks persaingan politik menjelang Pemilihan Presiden 2019, demokrasi mungkin lebih terwujud dalam bentuk partisipasi politik. Begitu banyak orang yang menyadari pentingnya partisipasi politik. Satu suara sangat bermakna. Sisi baiknya, ajakan untuk berpartisipasi dalam pilpres cukup kuat. Banyak anjuran agar tidak golput, bahwa satu suara Anda sangat berarti untuk masa depan negeri. Itu sudah disadari oleh masyarakat kita.
Namun, kesadaran seperti itu pun tak lepas dari semangat agar jagoannya tidak kalah. Bukan dalam konteks berdemokrasi yang benar-benar sehat. Dalam kacamata biner, selalu terbelah dua. Saling menegasi, yang sudah sampai pada taraf saling menjatuhkan.
Paling kentara adalah kampanye hitam. Banyak cara untuk melakukan kampanye bersih, sehat, dan membuat senyum; tetapi malah memilih kampanye hitam yang gelap-gulita, berjelaga, dan justru memancing amarah. Dalam beberapa kasus menimpa Presiden Joko Widodo, yang kini mencalonkan diri kembali untuk periode kedua didampingi Ma’ruf Amin. Jokowi tampak kerepotan menepis kampanye hitam: mulai tudingan anggota PKI, keturunan China, hingga stigma anti-Islam.
Kasus terbaru adalah sebuah video kampanye hitam ibu-ibu di Makassar, yang kemudian viral pada awal Maret ini. Si ibu melakukan kampanye hitam pada Jokowi. Ia mengatakan, pemerintahan Jokowi akan menghapus kurikulum agama dan menghapus pesantren. Padahal, baru saja tiga emak-emak di Karawang ditangkap polisi karena juga melakukan kampanye hitam terhadap Jokowi.
Akhir Februari lalu, sebagaimana terekam dalam video yang disebarkan, ketiga emak-emak itu berkampanye door to door di masyarakat. Kampanyenya sangat agitatif: Kalau Jokowi menang tidak ada lagi suara azan, tidak ada lagi perempuan memakai kerudung, dan perkawinan sejenis pun diperbolehkan.
Namanya kampanye hitam, tentu tidak berdasarkan fakta. Argumentasi sederhana sudah dapat diajukan dengan posisi Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Sang cawapres adalah seorang kiai yang punya reputasi dan posisi tertinggi (Rais ’Aam NU dan Ketua Umum MUI). Maka, mustahil bila pemerintahan Jokowi-Amin mengambil kebijakan berputar yang bertentangan dengan jiwa dan falsafah hidup bangsa yang agamais sesuai Pancasila.
Kalau untuk kampanye hitam seperti ini tak perlu berdiskusi panjang, hanya buang-buang waktu. Masalahnya, kampanye hitam seperti itu dapat menipu rakyat yang polos dan juga menyesatkan rakyat.
Sebetulnya, kampanye hitam yang menyudutkan Jokowi itu juga tidak menguntungkan bahkan mungkin merugikan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Begitu sebaliknya. Bila kampanye hitam menyerang Prabowo, kubu Jokowi yang terkena tudingan. Bila kampanye hitam menyerang Jokowi, bisa dituding dari kubu Prabowo. Padahal belum tentu juga. Tidak mungkinlah Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga membuat garis politik kampanye hitam seperti itu. Mereka juga ingin bertarung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kalau prinsip itu yang dipegang, demokrasi akan semakin kuat. Namun, bila cara-cara hitam dibiarkan tumbuh, siapa saja yang bertarung dalam pesta demokrasi justru mempunyai andil menghancurkan demokrasi.
Jangan asal beda, lalu reaksinya selalu berlawanan. Contoh paling masif adalah banyaknya tersangka kabar bohong (hoaks). Sejumlah politikus parpol berkomentar sebagai bentuk ”kriminalisasi”. Bahkan, vonis peradilan pun dianggap bentuk ketidakadilan. Jadi, penegakan hukum pun berdasarkan selera masing-masing, bukan pengujian di pengadilan.
Semestinya, sikap paling bijak dari para politikus adalah menghormati dan mengawal proses hukum. Dengan begitu berarti mendidik rakyat. Politikus semestinya memberikan pencerahan kepada rakyat, bukan malah menghasut dan memanas-manasi. Janganlah menanam bibit kebencian untuk generasi baru kita—generasi milenial—yang mulai bersuara dalam pesta demokrasi tahun ini.
Karena itu, tetaplah gunakan akal sehat dan hati bersih dalam berpolitik. Ingat pesan imam Ali bin Abi Thalib bahwa ”lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya”. Dan, partai politik yang tidak memiliki dasar dalam tekad untuk memajukan tujuan yang benar dan bermoral, kata Dwight Eisenhower dalam pidatonya pada 1956, bukanlah parpol, melainkan hanyalah konspirasi untuk merebut kekuasaan. Dan, Pilpres 2019 bukanlah melulu cerita perebutan kekuasaan, tetapi proses memperkokoh fondasi demokrasi politik untuk masa depan.