Setelah beberapa waktu beroperasi, baru bulan lalu saya berkesempatan melewati Gerbang Tol Salatiga, kota kecil di Jawa Tengah. Saya tidak seberuntung orang lain yang melewati gerbang tol ini tatkala hari cerah dan di kejauhan tampak Gunung Merbabu membiru. Indahnya pemandangan pintu tol dengan latar belakang Gunung Merbabu tadi telah banyak diunggah di media sosial.
Ketika saya lewat situ, langit kelabu. Gerimis membasahi kota. Tak tampak Gunung Merbabu, yang semasa saya mahasiswa entah berapa kali saya mendakinya. Padang edelweissnya saya ingat sampai sekarang.
Sejak tol Jakarta-Surabaya dibuka, banyak yang berubah di kota-kota di sekitar jalan tol ini. Apriori terhadap tol dengan mempersoalkan tarifnya dan mengecilkan keberadaan pembangunan infrastruktur jelas pekok. Tol mengubah banyak hal, termasuk narasi sebuah kota, seperti gerbang masuk Salatiga yang kini disebut-sebut seperti Switzerland. Dalam narasi lama, sambil ketawa orang menyebut daerah pinggiran Salatiga sebagai Alaska alias ”alas karet”.
Keberadaan tol berjalan seiring obsesi manusia akan percepatan zaman. Kecepatan tidak hanya bersangkut paut dengan mobilitas, efisiensi ekonomi, dan persoalan-persoalan material, tetapi juga konsepsi tentang ruang dan waktu. Akibatnya kadang tak terduga.
”Semarang-Pekalongan yang dulu dua jam bahkan lebih, menjadi cuma 50 menit. Saya dan teman-teman sekarang biasa makan siang di Pekalongan. Makan kepiting Pak Kardi di Comal sebelum pulang lihat-lihat batik di Pasar Setono,” kata wanita pengusaha restoran terkemuka di Semarang. Ia menambahkan cerita bagaimana berbagai kelompok arisan ibu-ibu wira-wiri, baik Semarang-Pekalongan maupun Semarang-Solo. Dengan keberadaan tol, jarak tempuh Semarang-Solo kurang dari satu jam. ”Di Solo pun begitu. Makan-makan lalu pulang,” tambahnya.
Teman di Solo bertutur serupa. Solo-Surabaya kini hanya sekitar tiga jam. Dia mengajak kapan-kapan ke Surabaya, menikmati hutan kota Bu Risma. ”Terus kita mampir ke Galaxy Mall, semua makanan tradisional Jawa Timur tersedia di situ,” ucapnya bersemangat.
Mobilitas manusia, faktor ekonomi, gaya hidup, dan strategi waktu luang mengubah segala-galanya. Keberadaan jalan tol tidak bisa dilihat secara aksiomatis bahwa kota-kota yang dulu dilewati kendaraan akan menjadi sepi karena pengendara memilih lewat tol. Kekhawatiran semacam itu sempat muncul ketika tol Jakarta-Bandung dibuka. Dikhawatirkan kawasan wisata Puncak bakal sepi. Nyatanya, setiap akhir pekan Puncak tetap dipadati pengunjung. Daerah Cisarua di seputar Tugu menjadi kampung Arab, ramai luar biasa.
Begitu pun kota-kota di sebagian Pulau Jawa sekarang. Sebuah situs berita di Jawa Tengah melaporkan, sejak tol Jakarta-Surabaya dibuka, omzet perdagangan batik di Pasar Setono, Pekalongan, naik 300 persen. Ditambah urusan gaya hidup dan waktu luang yang menguasai kehidupan sehari-hari masyarakat masa kini, hal-hal lain yang tak terduga sangat mungkin terjadi.
Sungguh tak terbayangkan, zaman dulu dari Solo hendak piknik ke Candi Prambanan yang berjarak sekitar 45 km seperti hendak melakukan perjalanan jauh sekali. Sama seperti orang Salatiga hendak piknik ke Kopeng yang hanya berjarak 14 km. Perlu bekal agar tidak kelaparan. Jangan lupa bawa jaket biar tidak masuk angin.
Ada sebutan, kota sejatinya bukan hanya sebuah locus, melainkan juga state of mind. Ingat lagu ”Georgia on My Mind”? Gagasan, persepsi, dan kenangan melekat pada sebuah kota. Segi-segi itu menjadi roh suatu kota.
Dalam mendung dan gerimis senja, saya tidak melihat Gunung Merbabu, tetapi saya tahu dia di situ, tidak berubah. Dia seperti lagu rock tahun 70-an, ”It’s the Same”. Di mana dia sekarang.…
”Everytime I think of it/I find it all the same/I am here and you are here and no one knows the game…”
Sebagai kota pelajar, dulu Salatiga memiliki sebutan ”Indonesia Mini”. Mahasiswa dari sejumlah suku di Indonesia kuliah di sini. Spirit keberagaman Indonesia itu yang mudah-mudahan tetap sama, tidak tergerus arus zaman yang kian tak keruan sekarang.