Masyarakat Dayak di Kalimantan telah lama menggunakan tanaman obat hutan berkhasiat. Namun, kekayaan pengetahuan itu nyaris punah. Ramuan obat dari para orang tua peracik obat alam yang tersisa sekarang mungkin saja menjadi racikan terakhir.
Engkalek (63), warga Dayak Iban di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, berjalan menembus semak-semak di hutan Desa Semunying Jaya, Rabu (20/2/2019) sore.
Ia mencari akar kemidan, tanaman obat untuk antimalaria. Beberapa menit kemudian, ia menemukan tanaman itu. Tinggi pohonnya sekitar 2,5 meter, berdiameter 25 sentimeter. Ia pun menggali tanah dan memotong sebagian akarnya.
”Saya mengambil ini untuk persediaan di rumah. Selain untuk pribadi, sering juga ada orang datang minta dibuatkan racikan obat hutan,” kata Engkalek.
Untuk menjadikannya obat, akar kayu itu diiris tipis dan dimasukkan ke dalam bambu, lalu disiram air panas. Selanjutnya, bambu berisi irisan akar kayu dan air panas itu dipanggang ke api beberapa menit, baru diminum.
Tahun 1990-an, warga di kampungnya sering datang ke Engkalek meminta dibuatkan racikan obat hutan. Masa itu belum ada jalan darat untuk berobat ke puskesmas. Untuk ke puskesmas harus menggunakan perahu cepat mengarungi sungai sekitar tiga jam ke Kecamatan Seluas.
”Kini masih ada juga yang datang ke saya meskipun tidak sebanyak dulu. Ada yang tidak sembuh dari rumah sakit. Ada pula orang yang lebih yakin dengan pengobatan ramuan hutan daripada medis,” ujarnya.
Joni (39), warga setempat, salah satu yang masih sering meminta Engkalek untuk dibuatkan ramuan obat alam. Februari lalu, ia terkena gejala malaria. ”Awalnya saya ke rumah sakit, tetapi tidak sembuh. Lalu saya menggunakan obat racikan dan sembuh. Saya termasuk yang masih memerlukan pengobatan tradisional,” kata Joni.
Kemampuan meracik obat dari alam juga dimiliki Andreas Sali (79) dan istrinya, Selfina (63), warga Dayak Kanayatn di Kampung Silung, Kabupaten Landak, Kalbar. Sabtu (23/2) siang, mereka sedang menjemur daun tibaakng.
”Daun tibaakng bisa untuk mengobati sakit perut, infeksi lambung, dan ambeien. Daun yang kering ini diseduh seperti teh. Ada juga sirih merah (Piper ornatum) yang bisa untuk antiracun. Penggunaannya juga diseduh,” kata Andreas.
Transfer pengetahuan
Engkalek, Andreas, dan Selfina mewarisi pengetahuan obat alam turun-temurun dari nenek moyang mereka. Semasa kecil, mereka diajak ke hutan oleh orangtua mereka. Hutan pun menjadi ”laboratorium” pembelajaran.
Namun, kini pewarisan kekayaan pengetahuan itu nyaris terhenti. Saat hutan semakin habis, media belajar pun terbatas. Contohnya hutan adat di Semunying Jaya yang pada tahun 1980-an masih mudah ditemukan tanaman obat. Hutan itu kini sekitar 1.420 hektar di antaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan milik korporasi.
Direktur Institut Dayakologi Krissusandi Gunui’ mengatakan, kebudayaan Dayak tidak bisa dipisahkan dengan alam. Pengetahuan, termasuk tentang obat hutan, diperoleh dari interaksi dengan alam. Ironisnya, hutan sebagai salah satu identitas budaya masyarakat Dayak banyak yang beralih fungsi. Hal itu menjadi tantangan dalam pewarisan pengetahuan obat-obatan alam.
Sementara itu, transfer pengetahuan obat alam juga terkendala minimnya ketertarikan generasi muda mewarisi pengetahuan itu. Terlebih, pewarisan pengetahuan obat alam itu banyak dilakukan secara lisan. Dokumentasi tertulis dari tradisi tanaman obat dari masyarakat Dayak bisa dibilang minim. Akibatnya, saat tokoh yang memiliki pengetahuan tanaman obat itu meninggal, tidak ada lagi yang mewarisi.
Bisa jadi, racikan obat hutan dari Engkalek, Andreas, dan Selfina itu menjadi racikan terakhir.(Emanuel Edi Saputra)