JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah memastikan akan semakin memperkuat pengawasan terhadap penyebaran radikalisme dan terorisme di dunia maya. Fenomena mempelajari agama di internet menjadi pintu masuk pemaparan paham radikal kepada generasi muda.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengungkapkan, media sosial telah dimanfaatkan jaringan kelompok teroris untuk mencegah ancaman hukuman pidana dalam berbagai aktivitas teror. Hal itu dilakukan seiring aturan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dapat memidanakan setiap individu atau kelompok orang yang melakukan kegiata teror, mulai dari memberikan inspirasi dan provokasi radikalisme, pergi ke wilayah konflik, pelatihan paramiliter, bersumpah setia pada kelompok teroris, hingga bergabung dengan organisasi terlarang.
“Radikalisasi di dunia nyata sudah kurang karena mereka takut. Tetapi, karena mereka menyebar di media sosial dan tidak melakukan pertemuan langsung, maka kecenderungan serangan teror dilakukan pelaku tunggal,” ujar Suhardi di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Kerentanan dunia maya sebagai wadah utama penyebaran paham radikal, lanjut Suhardi, disebabkan generasi muda menggunakan internet untuk mempelajari agama. Padahal, memahami nilai-nilai keagamaan, kata Suhardi, perlu dilakukan secara langsung untuk memastikan guru yang memberikan ilmu memiliki pemahaman keilmuan yang baik dan moderat serta tidak radikal.
Dalam survei BNPT 2018 yang melibatkan 11.200 siswa dan mahasiswa di 32 provinsi, sebanyak 77,73 persen koresponden melakukan aktivitas keagamaan. Dari persentase itu hanya 25,82 persen yang belajar agama secara langsung kepada guru atau tokoh utama, sedangkan 61,23 persen mencari ilmu agama melalui media sosial.
“Mempelajari pemahaman agama tidak bisa di media sosial sebab kalau salah menerima konten keagamaan, maka individu akan dibimbing ke paham radikal. Dan, cara itu merupakan langkah pengkaderan yang dilakukan kelompok teroris,” kata Suhardi.
Oleh karena itu, Suhardi memastikan pihaknya telah berkerja sama dengan 36 kementerian/lembaga untuk mengantisipasi penyebaran radikal. Misalnya, koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, untuk meningkatkan pendidikan karakter agar generasi muda mampu menyaring paham-paham yang tidak sesuai dengan PAncasila dan Islam moderat. Kemudian, BNPT juga secara berkala berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk membatasi kehadiran akun dan situs penyebar paham radikal.
Konten radikal
Dihubungi terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memastikan, pihaknya telah proaktif menyisir potensi konten-konten yang berkaitan dengan radikalisme atau terorisme. Bahkan, untuk menilai sebuah situs atau akun berkonten radikal, tambah Rudiantara, pihaknya melibatkan dengan para tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk melakukan analisis dan penilaian atas sebuah konten di situs atau akun yang dianggap mempromosikan radikalisme.
"Kami juga berkerja sama dengan para penyedia layanan media sosial untuk melakukan take down terhadap konten atau akun yang menyebarkan paham radikal," kata Rudiantara.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu menambahkan, berdasarkan nota kesepahaman dengan BNPT yang ditandatangani tiga tahun lalu, Kemenkominfo bertugas mengais konten isu radikalisme dan terorisme di dunia maya. Tugas itu dikerjakan oleh 100 tim verifikasi pengais konten negatif. Konten radikalisme ditangani oleh salah satu tim itu.
Namun, Ferdinandus menuturkan, seiring perhelatan Pemilu 2019 yang menyebabkan media sosial didominasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, tim tersebut kurang fokus pada antisipasi konten radikalisme. Padahal, Fedinandus memastikan, aplikasi Telegram menjadi sarana yang paling banyak digunakan kelompok teroris.
“Dengan terungkapnya kasus (jaringan teroris Abu Hamzah) itu, kami akan lebih telaten lagi untuk mengawasi peredaran konten radikalisme dan terorisme. Selain itu, kami akan menegaskan kembali ke Telegram agar melakukan self-filteringuntuk menghapus konten dan grup percakapan radikal,” kata Ferdinandus.
Dengan terungkapnya kasus (jaringan teroris Abu Hamzah) itu, kami akan lebih telaten lagi untuk mengawasi peredaran konten radikalisme dan terorisme. Selain itu, kami akan menegaskan kembali ke Telegram agar melakukan self-filteringuntuk menghapus konten dan grup percakapan radikal
Selama 2018, Telegram menjadi aplikasi pesan instan yang paling banyak dilaporkan kepada Kemenkominfo terkait penyebaran konten negatif. Sebanyak 614 laporan diterima Kemenkominfo.
Ferdinandus menyebutkan, pihaknya juga telah memblokir 497 situs berkonten radikal pada 2018. Ia memastikan, upaya pengais situs dan akun radikal akan terus dilakukan melalui mesin AIS.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, pasca menangkap Abu Hamzah alias Husain di Sibolga, Sumatera Utara, Selasa lalu, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap tiga terduga teroris lain pada Rabu dan Kamis ini. Mereka yang ditangkap ialah AK alias Ameng alias AH dan P alias Ogel di Sibolga, Sumut. Kemudian, satu orang lagi, yakni RG alias R alias AR, ditangkap di wilayah Bagan Kota, Kecamatan Bangko, Kabupatem Rokan Hilir, Riau.
Mereka memiliki peran sentral dalam jaringan kelompok teroris itu. AK berperan sebagai penyandang dana dalam kelompok itu. Ia telah mengeluarkan uang sekitar Rp 15 juta untuk membeli kebutuhan bahan peledak dan logistik lain dalam perencanaan aksi teror yang menargetkan kantor dan anggota kepolisian. P membantu Abu Hamzah merencanakan aksi teror, termasuk mengarahkan RS alias PS dan PK alias SS yang ditangkap terlebih dahulu di Lampung dan Kalimantan Barat.
Adapun RG menyebarkan konten radikal hingga video sejumlah aksi teror di grup dua kanal grup di aplikasi perpesanan Telegram. Abu Hamzah pun menyebarkan paham radikal dan merekrut RS melalui kanal Telegram.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, mengatakan, kanal di Telegram tetap akan menjadi sarana yang dimanfaatkan kelompok teroris untuk pengkaderan dan perencanaan aksi teror. Cara pengkaderan yang dilakukan kelompok teroris di media sosial, lanjut Chaidar, dilakukan secara acak. Artinya, mereka akan menyebarkan narasi radikal, misalnya tulisan-tulisan Aman Abdurrahman, tanpa menargetkan kalangan tertentu, sehingga radikalisasi tidak lagi terbatas kepada laki-laki serta latar belakang pendidikan dan ekonomi rendah.
"Seiring pengawasan terhadap Telegram yang tidak seketat pada 2017 lalu, kelompok teroris akan meningkatkan kembali penyebaran radikalisme di kanal-kanal Telegram," kata Chaidar.