Cegah Jual Beli Jabatan, Seleksi ASN Harus Profesional
›
Cegah Jual Beli Jabatan,...
Iklan
Cegah Jual Beli Jabatan, Seleksi ASN Harus Profesional
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Terungkapnya kasus dugaan suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama menunjukkan tidak profesionalnya aparatur sipil negara serta pejabat yang memimpin mereka. Hilangnya keterbukaan dalam seleksi jabatan ini kerap dipengaruhi unsur politis yang dimiliki pejabat pembina kepegawaian.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu (16/3/2019), menetapkan status tersangka pada dua aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kementerian Negara. Mereka adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemberian suap kepada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romy. Tersangka Haris, diduga telah memberi uang Rp 250 juta kepada Romy.
Dalam konferensi pers, di Jakarta, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut, Haris mengikuti proses seleksi terbuka "Sistem Layanan Lelang Jabatan Calon Pejabat Pimpinan Tinggi" 2018/2019. Pertengahan Februari 2019, Kementerian Agama menerima informasi bahwa nama Haris tidak termasuk tiga nama yang akan diusulkan ke Menteri Agama. Hal itu karena ia diduga pernah mendapatkan hukuman disiplin sebelumnya.
"Namun, kemudian, diduga terjadi kerjasama oleh pihak tertentu untuk tetap meloloskan HRS (Haris) dalam proses seleksi jabatan tinggi di Kementerian Agama tersebut. Pada awal Maret 2019, HRS dilantik Menteri Agama menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur," kata Laode.
Diduga terjadi kerjasama oleh pihak tertentu untuk tetap meloloskan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dalam proses seleksi jabatan tinggi di Kementerian Agama tersebut.
Komisioner Komisi ASN, Waluyo, mengonfirmasi dugaan tidak direkomendasikannya Haris masuk tiga besar dalam proses seleksi jabatan di Kementerian Agama. Catatan kedisiplinan dalam lima tahun terakhir, menurut Waluyo, menjadi salah satu penentu dalam seleksi jabatan seorang ASN.
"Kami sudah merekomendasikan Menteri Agama untuk tidak memilih dia karena, dalam data kami, yang bersangkutan pernah terkena hukuman disiplin dalam lima tahun terakhir," kata Waluyo yang dikontak melalui sambungan telepon.
Kami sudah merekomendasikan Menteri Agama untuk tidak memilih dia karena, dalam data kami, yang bersangkutan pernah terkena hukuman disiplin dalam lima tahun terakhir.
Waluyo pun menyayangkan ketidakprofesionalan pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang berwenang menyeleksi satu dari tiga calon pejabat yang dipilih panitia seleksi, bentukan Komisi ASN. Padahal, proses seleksi sebagian besar sudah dilakukan secara terbuka.
Menurutnya, ketidakprofesionalan itu kerap dipengaruhi unsur politik PPK, baik di tingkat kepala maupun kementerian. Kalau mau dibereskan, sebaiknya kewenangan PPK untuk menyeleksi pejabat ASN digabungkan dengan pejabat yang berwenang (PYB), dalam hal ini sekretaris daerah.
"PYB memiliki karir profesional yang tidak akan terintervensi politik, berbeda dengan PPK kepala daerah yang dipilih karena jalur politiknya," tuturnya.
Untuk mengatur adanya penggabungan kewenangan PPK dan PYB, maka perlu ada revisi pada undang-undang (UU) yang mengatur seleksi pejabat ASN. Saat ini, seleksi terbuka jabatan ASN diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Aturan seleksi jabatan ASN, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Netralitas
Waluyo mengimbau agar ASN tidak lagi melakukan kecurangan dalam proses seleksi jabatan. ASN harus menjadi bagian dari solusi memperbaiki sistem di pemerintahan. Hal itu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5/2014.
"Proses seleksi jabatan akan lebih baik kalau dilakukan mengikuti prosedur yang berlaku, yaitu secara terbuka, dengan profesional. Jadi, stop suap-menyuap, karena rezeki tidak akan tertukar," ujarnya.
Ia pun kembali mengingatkan ASN agar netral dari politik. Intervensi politik harus dihindari ASN agar tidak mendukung hadirnya kejahatan terkait memperdagangkan pengaruh. Hal ini sebagaimana nampak dari kasus dugaan suap yang menyeret Politikus Romy dan Haris selaku ASN.
"Kalau intervensi politik seperti itu tidak bisa dihindarkan, maka pemerintahan tidak bisa maju," ujarnya lagi. (ERIKA KURNIA)