JAKARTA, KOMPAS — Menjelang debat calon presiden pada Minggu (17/3/2019) dengan topik pembangunan sumber daya manusia, masalah ketidakmerataan akses dan bantuan pendidikan menjadi perhatian utama masyarakat. Mutu pendidikan rupanya belum menjadi fokus permasalahan.
"Masyarakat memang sangat membutuhkan bantuan, setidaknya menurut persepsi mereka," kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Jakarta, Jumat (15/3/2019). Hal ini alasan kebijakan seperti Program Indonesia Pintar (PIP) sangat ditunggu oleh masyarakat.
Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najeela Shihab tidak bisa menyalahkan masyarakat yang pikirannya baru seputar bantuan. Pengamatan PSPK menunjukkan bahwa sejak pasca kemerdekaan, kebijakan pendidikan mayoritas fokus kepada akses dan pemberian bantuan. Praktis, hal ini membuat pandangan masyarakat terhadap peran pemerintah hanya sebatas pada aspek memberi bantuan.
Menurut dia, untuk segi akses pendidikan sudah banyak unit kerja pemerintah yang terlibat. Permasalahannya adalah memastikan kinerja setiap unit itu sesuai dengan prosedur dan target.
"Hendaknya kita mulai membicarakan mutu pendidikan. Sudahkah sekolah mengajarkan hal-hal yang memang sesuai dengan tumbuh kembang anak dan bisa memberi mereka kemampuan mengikuti perkembangan zaman?" katanya.
Hendaknya kita mulai membicarakan mutu pendidikan. Sudahkah sekolah mengajarkan hal-hal sesuai tumbuh kembang anak dan bisa memberi mereka kemampuan mengikuti perkembangan zaman?
Pemenuhan mutu tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. Harus ada keterlibatan masyarakat dalam memastikan berjalannya proses pembelajaran yang mengembangkan karakter sekaligus kompetensi. Kondisi ini hanya bisa dicapai oleh masyarakat yang sudah memiliki kesadaran pendidikan baik secara konsep maupun praktis.
Politisi bereaksi kepada kepedulian masyarakat. Selama masyarakat belum menganggap mutu pendidikan itu penting, kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan tidak akan berpihak. Termasuk di dalam penyusunan visi dan misi para calon presiden dan wakil presiden.
Belum tepat sasaran
Ubaid mengatakan, masyarakat membutuhkan bantuan pendidikan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan PIP belum tepat sasaran. Berdasarkan laporan yang diterima oleh JPPI, ada penerima PIP yang sebenarnya masuk ke kategori tidak layak. Misalnya, anak kepala desa dari keluarga relatif mampu ternyata mendapat Kartu Indonesia Pintar (KIP), sementara ada anak warga miskin tidak memperolehnya.
Masyarakat, katanya, kebingungan mencari tempat mengadu terkait pembuktian bahwa mereka berhak mendapat KIP. Informasi yang mereka terima sering kali tidak lengkap atau pun menyesatkan. Ada laporan yang mengatakan bahwa warga ditakut-takuti harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit jika hendak mengadu.
"Bahkan, tidak ada transparansi alasan seseorang bisa memperoleh KIP," tutur Ubaid. Ia mengungkapkan salah satu kasus yang diterima JPPI berdasarkan laporan seorang kepala sekolah yang mengaku sudah menyerahkan daftar nama siswa miskin di sekolahnya kepada dinas pendidikan. Oleh dinas pendidikan hanya diloloskan beberapa nama tanpa keterangan yang jelas, sehingga masyarakat protes.
Menurut dia, cara seperti ini yang membuat masyarakat berkurang kepercayaannya kepada KIP. Prinsip KIP untuk semua siswa miskin ternyata pada praktiknya hanya dinikmati oleh segelintir orang.
"Ada data Program Keluarga Harapan dan Kartu Indonesia Sehat yang juga bisa menjadi bukti pendukung seseorang layak dapat KIP. Jika memang diterapkan, transparansi pemberian bantuan kepada penerima yang layak bisa dipastikan," ucapnya.