Kamis pagi, 14 Maret 2019, seorang sahabat mengirim pesan melalui Whatsapp. Dia menulis, ”Chief, mungkin perlu dipertimbangkan buat topik, memandang Indonesia pasca-17 April.” Sahabat itu seorang anggota tim sukses calon presiden. Dia beberapa kali saya undang menjadi narasumber dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV.
Dia melanjutkan pandangannya. ”Kita bangun semangat bahwa keutuhan bangsa dan negara adalah di atas segalanya; karena itulah ruang hidup bersama anak cucu kita. Karena itu, kepada pihak yang sedang berkompetisi, jangan habis-habisan menempuh segala cara. Mengorbankan persatuan, kemanusiaan, mengorbankan persahabatan sejati. Pemilu hajat musiman yang sejatinya harus menjadi sarana perbaikan kehidupan, bukan malah merusak keadaan.”
Saya menjawab singkat, ”Sepakat Chief.” Percakapan selesai pagi itu. Percakapan Whatsapp memang kerap terjadi untuk berbagi perasaan dan keprihatinan terhadap situasi politik yang kian tak genah. Kadang kami bertemu untuk makan siang atau makan malam, sambil saling mengingatkan untuk tetap menjaga kewarasan politik.
Belakangan ini, situasi politik, khususnya mencermati percakapan di media sosial, terasa memprihatinkan. Ketika Facebook dan Instagram sempat down, beberapa orang memasang status, ”Biarlah down sampai 17 April. Agar kita semua tenang.” Ekspresi status boleh saja sekadar main-main, tapi kejengahan politik memang terasa.
Pembelahan terasa di dunia maya. Perkawanan putus. Persahabatan tercederai. Kehidupan privat diserang. Tim sukses saling mendegradasi. Berita bohong diumbar di jagat digital. Ketika ketahuan bohong, dijawab ringan, minta maaf. Tapi, peredaran video itu sudah tak terkontrol. Demi kekuasaan, sepertinya semua dikerahkan untuk memenangi pertarungan. Prinsip menghalalkan segala cara dilakukan, seperti diajarkan filsuf Niccolo Machiavelli (1469-1527).
Kebenaran bukan lagi ditentukan oleh data yang obyektif, tetapi oleh keyakinan. Situasi inilah yang disebut Tom Nichols sebagai zaman matinya kepakaran. Fakta yang jelas-jelas hoaks diterima sebagai kebenaran karena keyakinan. Dalam ekosistem digital, masyarakat terkelompok dalam kepompong-kepompong informasi yang kian mempertajam polarisasi.
Pilihan kata elite pun cenderung memprovokasi masyarakat. Kontestasi pemilu dikonstruksikan sebagai perang. Ada yang menyebut ”perang total” ada pula ”perang badar”. Elite itu mungkin miskin kamus kata-kata politik. Istilah perang lebih banyak dikenal di dunia militer. Pilihan kata itu hanya menghangatkan suhu politik dan membuka ruang spekulasi.
Pemilu adalah hal biasa. Pemilu adalah instrumen demokrasi untuk memperbarui mandat rakyat dalam memilih pemimpin atau calon legislator. Prinsip dalam pemilu adalah meneruskan atau perubahan. Pemimpin yang menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menyejahterakan rakyat, berbuat sesuatu yang dirasakan rakyat, niscaya akan dipilih kembali. Begitu juga sebaliknya. Di sini peran komunikasi.
Sekitar sebulan lagi pemilu digelar. Masih sekitar 17 persen pemilih gamang, belum menentukan pilihan, dan berpotensi jadi golput. Pemilih gamang butuh diyakinkan dengan tawaran program, bukan bayangan ketakutan. Jadi, keliru mengonstruksikan pemilu sebagai perang.
Upaya mengaduk-aduk sentimen emosional, menggunakan sentimen keagamaan, bisa memunculkan pertanyaan, akankah bangunan demokrasi kita kokoh bertahan? Akankah demokrasi bisa bertahan jika masyarakat sangat sensitif dengan isu agama, tidak bisa membedakan berita bohong dan berita benar, dan pertimbangan emosi lebih mengedepan?
Situasi ini ditangkap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saya mengamati bahwa kontestasi dalam Pemilu 2019 ini, utamanya pilpres, lebih keras dibandingkan dengan pilpres di era reformasi sebelumnya. Polarisasi tampak lebih tajam. Disertai dukungan antar-identitas yang makin berjarak,” kata Yudhoyono dalam pernyataan tertulis yang dibacakan Hinca Panjaitan.
Menjadi tugas elite politik untuk tetap menjaga situasi. Biarkanlah 192 juta pemilih berdaulat memilih pemimpin dan wakilnya, sesuai dengan nuraninya.
Betul kata sahabat saya. Masih ada kehidupan setelah 17 April 2019. Malam hari setelah 17 April 2019—jika semuanya lancar—pemimpin Indonesia 2019-2024 sudah bisa dibayangkan. Rekonsiliasi, persatuan, persaudaraan jadi pesan yang harus kembali dirajut. Semuanya harus kembali bersatu, menata kembali relasi sosial, membenahi sistem pemilu, menata kembali sistem ketatanegaraan yang kian semrawut, meneruskan pemberantasan korupsi, musuh utama bangsa ini. Semua itu tetap dalam bingkai NKRI dan Pancasila.
Suasana kontestasi ini harus disikapi dengan kematangan politik. Sikap itu akan mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan demokrasi yang kian matang. Generasi milenial masih yakin dan optimistis Indonesia bisa menatap 100 tahun Republik Indonesia, 17 Agustus 2045.