Krisis Inggris Tak Kunjung Habis
Untuk kedua kalinya kesepakatan Brexit usulan pemerintah ditolak parlemen Inggris. Langkah selanjutnya, Inggris meminta perpanjangan tenggat pada Uni Eropa. Namun, kebuntuan politik tak berubah.
Beberapa jam sebelum Majelis Rendah Parlemen Inggris melakukan voting terhadap kesepakatan Brexit, Selasa (12/3/2019), PM Inggris Theresa May bersuka cita karena berhasil meraih konsesi dari Brussels. May menyatakan, ada perubahan signifikan terkait backstop Irlandia Utara. Inggris, kata May, bisa meninggalkan backstop jika London dan Brussels di masa depan tidak mencapai kesepakatan dalam kerja sama perdagangan.
Berbekal konsesi itu, May berharap bisa meyakinkan parlemen untuk mendukungnya. Namun, menjelang voting, Jaksa Agung Inggris Geoffrey Cox yang terlibat intens dalam perundingan di Brussels memberi pandangan di parlemen. Intinya, meski konsesi yang tertuang dalam pernyataan bersama Inggris-UE bisa mengurangi risiko Inggris terjebak selamanya pada aturan UE, risiko hukumnya tak berubah.
Backstop Irlandia Utara adalah komitmen Inggris dan UE untuk mencegah penjagaan di perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia pasca Brexit, terlepas apakah Inggris keluar dari UE dengan atau tanpa kesepakatan. Jika pasca Brexit Inggris dan UE belum menyepakati formula kerja sama perdagangan, backstop akan diterapkan. Selama backstop diterapkan, seluruh aturan perdagangan Inggris masih berada dalam aturan UE. Inilah yang menjadi keberatan mayoritas anggota parlemen yang menganggap backstop dapat membelenggu Inggris untuk waktu tak terbatas dalam aturan UE.
Pernyataan Cox bahwa "risiko hukum backstop tak berubah" berdampak signifikan terhadap sikap parlemen. Dalam voting Selasa (12/3/2019) malam, diperoleh 391 suara menolak, berbanding 242. Pada voting 15 Januari lalu, 432 suara menolak dan 202 mendukung.
Tolak "No Deal"
Dalam voting berikutnya, Rabu (13/3/2019), parlemen memilih: apakah Inggris akan keluar dari Brexit tanpa kesepakatan. Sebanyak 321 suara menolak dan 278 mendukung. Hasil voting ini tidak mengikat secara hukum. Secara teoretis Inggris masih bisa keluar dari UE tanpa kesepakatan.
Di hari berikutnya, Kamis (14/3/2019) malam, dalam voting apakah Inggris akan meminta perpanjangan waktu pada Uni Eropa sampai akhir Juni, mayoritas anggota parlemen mendukung dengan 413 suara mendukung dan 202 menolak.
Keputusan yang dihasilkan parlemen itu tidak mengakhiri krisis Brexit, karena para anggota parlemen maupun warga Inggris sudah terbelah antara pendukung putus total dengan Brussels dan kubu yang ingin tetap dekat dengan UE. Perpecahan itu tidak berhasil dijembatani oleh PM May. Kubu pro hard Brexit menganggap kesepakatan itu tetap akan membuat Inggris menjadi "koloni" UE. Adapun kubu pro UE menganggap kesepakatan itu akan membuat perekonomian Inggris ambruk karena keluar dari pasar tunggal Eropa.
Tarik-menarik ini pula yang membuat Brussels merasa frustrasi karena seluruh agenda Uni Eropa tersandera oleh proses Brexit. Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker menyebutkan, bahwa tak akan ada lagi kesempatan negosiasi bagi Inggris. “Kesempatan kedua telah diberikan, tak akan ada kesempatan ketiga. Dukung kesepakatan itu atau tak ada Brexit,” kata Juncker, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Uni Eropa telah mengisyaratkan akan memberikan perpanjangan tenggat bagi Inggris, dan hal itu akan dibicarakan dalam KTT UE 21-22 Maret. Namun, UE sudah menegaskan, mereka tidak bersedia melakukan negosiasi kembali, kecuali Inggris mengubah “garis merah” kebijakannya. Misalnya, keputusan Inggris untuk keluar dari pasar tunggal Eropa.
Kehilangan kontrol
Sikap parlemen yang terbelah juga diperburuk dengan kenyataan bahwa May maupun ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn sama-sama tidak mampu mengontrol partainya.
Selama ini PM Theresa May menghabiskan energi untuk merangkul para pembangkang di partainya dan bukannya mencari kesamaan dan dukungan dari kubu oposisi.
Di kubu Konservatif, ada sekitar 100 orang "pembangkang" yang menginginkan Inggris tetap keluar dari UE dengan atau tanpa kesepakatan. Mereka adalah kelompok yang disebut European Research Group. Sampai dengan voting terakhir, May tidak mampu mengambil hati kelompok ini. Di sisi lain, sebanyak 15 anggota kabinet May juga mengancam, mereka akan mengundurkan diri dan mendukung oposisi jika May menolak untuk memperpanjang tenggat Brexit.
Sebaliknya, di kubu Partai Buruh, Jeremy Corbyn, menurut The Economist (8/3/2019), sejatinya adalah anti Brussels. Namun, mayoritas anggota parlemen asal Buruh adalah pendukung Inggris tetap bersama Eropa. Sembilan anggota parlemen Buruh mengundurkan diri beberapa waktu lalu karena menganggap Corbyn tidak tegas untuk mendukung referendum kedua.
Corbyn akhirnya menegaskan Buruh akan mendukung referendum kedua, dengan alasan kesepakatan yang dicapai PM May tidak menjamin masa depan ekonomi Inggris akan lebih baik. Namun, dalam voting Kamis malam, Corbyn menginstruksikan partainya untuk abstain. Opsi referendum kedua ditolak parlemen dengan suara telak, 334 suara berbanding 85 suara.
May menyatakan akan mengajukan kembali kesepakatan yang sama kepada parlemen untuk ketiga kalinya pada 20 Maret. Menurut May, jika parlemen menginginkan Inggris keluar dari UE dengan kesepakatan, maka satu-satunya kesepakatan yang tersedia harus diterima.
Jika dalam voting ketiga parlemen menerima kesepakatan Brexit, May akan meminta perpanjangan tenggat Brexit sampai akhir Juni 2019. Tapi, jika parlemen kembali menolak kesepakatan itu, maka ia akan meminta perpanjangan tenggat yang lebih lama dan Inggris akan mengikuti pemilu legislatif Uni Eropa.
Jika tetap buntu, parlemen diharapkan mengambil alih inisiatif dengan mengusulkan sejumlah solusi yang bisa didukung mayoritas anggotanya. Sebagian besar anggota parlemen dari Konservatif maupun Buruh sebetulnya memiliki preferensi yang sama, yaitu mengharapkan Inggris secara ekonomi tetap dekat dengan Uni Eropa.
Namun, selama ini PM May menghabiskan energi untuk merangkul para pembangkang di partainya dan bukannya mencari kesamaan dan dukungan dari kubu oposisi.
Hanya tinggal 12 hari dari tenggat Brexit, kini Inggris masih terus terjebak di antara tembok buntu.