Sebuah Perjalanan
Dari ketinggian pesawat yang membawa saya terbang dari ”Kota Gudeg” ke Jakarta, sebuah sungai lebar terlihat berkelok-kelok. Melihat itu, seketika saya berkata dalam hati, ”Mirip hidupku.”
Berkelok
Ada banyak kelokan yang telah saya buat selama menjalani hidup setengah abad lebih, sehingga perjalanan itu terlihat jadi menarik, meski yang menarik dan yang berkelok itu ada saja yang jauh dari kebenaran.
Sering saya mendapat nasihat dan juga mendengar bahwa hidup itu menarik kalau ada naik turunnya, ada kelokannya, daripada yang hanya lurus saja. Kata orang, yang lurus itu akan membosankan, seperti naik kendaraan di jalan bebas hambatan yang biasanya hanya lurus-lurus saja. Saya kira Anda, pembaca, pasti juga pernah mendengar orang berbicara mengenai hal itu, atau bahkan sudah dinasihati seperti saya.
Kalau mendengar nasihat itu, saya berpikir. Sebetulnya apa yang membuat perjalanan hidup itu membosankan atau menyenangkan atau biasa-biasa saja? Apakah keadaan jalannya atau orang yang menjalani kehidupan itu?
Saya pernah bepergian dengan melewati jalan bebas hambatan yang katanya lurus-lurus saja dan bikin ngantuk. Ternyata yang bikin ngantuk itu enak sekali. Saya bisa tidur selama sekian jam. Dan Anda tahu bahwa tidur, selain makan, adalah kenikmatan tiada tara, bukan?
Apakah kalau jalan yang berkelok-kelok dikatakan tidak membosankan itu karena manusia yang mengatakan adalah manusia yang membosankan? Sehingga buat orang semacam itu, jalan berkelok akan terasa berbeda. Ataukah memang sesungguhnya jalan berkelok itu jauh lebih menyenangkan tanpa melihat siapa yang menjalaninya?
Kemudian saya membayangkan perjalanan pernikahan beberapa teman saya. Sebuah perselingkuhan terjadi. Hubungan yang tadinya lurus-lurus saja menjadi berkelok-kelok. Kalau melihat alasan mengapa membelokkan hubungan yang selama ini lurus, akan selalu terasa benar.
Tiba-tiba saya berpikir, apakah jalan yang lurus itu lebih aman dari perjalanan yang berkelok? Bukankah jalan yang lurus juga dapat menimbulkan rasa kantuk yang sangat sehingga yang lurus pun memiliki risiko celaka?
Atau sejatinya perjalanan kehidupan yang aman bukan bergantung pada lurus atau tidaknya sebuah kondisi jalan, melainkan kepada mereka yang menyetir kendaraan?
Dua dunia
Ataukah perjalanan berkelok itu memang sejatinya lebih merepotkan meski ada kesenangan di dalamnya.
Korupsi, misalnya. Buat saya, menjadi koruptor itu merepotkan. Ia harus selalu berhati-hati, jangan sampai ketahuan. Untuk berhati-hati, ia harus mencari berbagai jalan agar tak tertangkap. Semuanya itu memberi rasa tertekan. Meski ketika hasil korupsi dinikmati tanpa ketahuan, itu benar-benar nikmat.
Demikian juga penyelingkuh. Ia harus bisa mengatur jadwal selingkuh agar tak ketahuan. Ia harus mampu memanipulasi perasaannya. ”Dulu waktu masih muda, pacarku satu. Simpenan-ku ada dua,” kata seorang teman laki-laki di suatu sore sambil menyeruput kopinya.
Dalam hati saya mikir. Punya satu saja sudah begitu merepotkan, ini punya tiga.
Pada suatu malam, saya makan berempat di sebuah kedai yang nyaman dan sederhana. Saya bercerita bahwa saya malas berpacaran karena ribetnyasetengah mati. Dan yang paling ribetitu karena manusia itu berubah. Saya bisa berubah, pasangan saya bisa berubah. Malam itu, seorang dari kami turut bercerita. Ia bercerai karena ingin melakukan sebuah perubahan dalam perjalanan pernikahannya.
Mungkin yang awalnya lurus ia ingin seperti sungai yang berkelok, seperti yang saya lihat dari ketinggian itu. Berkelok untuk memberi warna, bukan untuk mencari perkara. Perubahan itu tak didukung oleh pasangannya. Jadi, ungkapan it takes two to tango malah menjadi ber-tango sendirian dalam kasus yang ia alami.
Di dalam pesawat, saya jadi bertanya kepada diri saya sendiri. Mengapa perselingkuhan terjadi, mengapa ada orang yang tadinya sehat memilih menggunakan narkoba dan menyengsarakan hidupnya kemudian. Mengapa ada orang yang baik menjadi begitu jahatnya.
Di ketinggian 36.000 kaki itu, saya berusaha menjawab pertanyaan di atas. Mungkin menjalani kehidupan ini bukan dengan banyak alasan yang selalu benar. Mungkin perjalanan hidup ini harus disetir dengan menggunakan kepala, bukan dengan menggunakan alasan.
Karena sejatinya bukan hidup yang menawarkan jalan berkelok atau lurus, tetapi yang membuat perjalanan kehidupan menjadi berkelok atau lurus-lurus saja adalah saya yang menjalaninya. Saya yang menentukan apakah saya mau mengunggah kemesraan dengan pasangan saya di media sosial, tetapi sembunyi-sembunyi memeluk pasangan orang lain.
Saya yang menentukan apakah saya mau menghancurkan badan saya atau menyehatkannya. Saya yang menentukan apakah saya mau hidup penuh dengan kemunafikan, hidup dalam dendam kesumat, atau hidup memaafkan dengan tulus.
Atau, saya mau hidup di dua dunia. Itu pun sebuah tawaran yang diberikan oleh diri sendiri. Bisa menjadi penasihat yang baik untuk banyak orang, tetapi di balik kebaikan itu, tangannya siap dengan belati untuk menghunjam yang dibencinya.