Sebagai salah satu pulau terluar di wilayah Indonesia, Pulau Morotai, Maluku Utara, menyimpan kisah sejarah yang tidak boleh dilupakan. Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam Perang Pasifik yang berlangsung tahun 1941 hingga 1945, Pulau Morotai merupakan saksi bisu dari pertarungan pasukan Sekutu yang dikomandoi Amerika Serikat melawan Negeri Cahaya Asia, Jepang.
Bahkan, dalam laporan tentara AS di Perang Pasifik yang berjudul ”The Approach to the Philippines”, yang disusun Robert Ross Smith pada 1996, terdapat bab khusus yang berjudul The Morotai Operation. Peta operasi tentara Sekutu di Pulau Morotai juga dilampirkan pada laporan yang dikeluarkan Center of Military History United States Army itu.
Oleh karena itu, ketika berkesempatan mengunjungi Morotai selama 18-19 Maret lalu di sela-sela peresmian program Gerakan Pembangunan Terpadu Perbatasan (Gerbangdutas) yang diinisiasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kompas menyempatkan mengunjungi satu-satunya tempat untuk mengenang Pertempuran Morotai (Battle of Morotai) di Museum Perang Dunia II.
Letak museum itu hanya sekitar 5 menit berkendara dari Bandara Leo Wattimena, dan masih termasuk dalam wilayah Desa Wawama yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota Morotai. Tak hanya itu, museum itu juga berhadapan langsung dengan Laut Halmahera.
Di halaman museum itu, pengunjung disuguhkan empat tank Tentara Nasional Indonesia yang digunakan dalam Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk pembebasan Papua dari tentara Sekutu pada dekade 1960-an. Lalu, ada pula Monumen Trikora yang menggambarkan perjuangan tentara Indonesia untuk menancapkan bendera Merah Putih di Bumi Cendrawasih.
Di Museum Perang Dunia II terdapat lima bagian ruangan. Di bagian awal, pengunjung akan disambut oleh patung close-up Panglima Perang Pasifik Amerika Serikat Jenderal Douglas MacArthur dan Panglima Militer Australia Marsekal Sir Thomas Albert Blamey. Keduanya memimpin sekitar 57.000 tentara Sekutu yang tiba di Morotai pada September 1944.
MacArthur menjadikan Morotai sebagai pangkalan operasi Pembebasan Filipina dari tentara Jepang. Sebelum menguasai Filipina, tentara sekutu berambisi menguasai Morotai yang telah digunakan Jepang sebagai benteng awal dalam menjaga Filipina dari tentara sekutu.
Ishak Talib (46), penjaga Museum Perang Dunia II, menyebutkan, lokasi pendirian museum juga tidak asal dilakukan. Museum itu tepat berdiri di bibir pantai yang pada Agustus 1945 menjadi tempat tentara Jepang menyerahkan Morotai kepada tentara Sekutu. Penyerahan Morotai itu diterima oleh Blamey.
Pertempuran yang berlangsung selama hampir 11 bulan itu memang sulit dibayangkan saat ini. Kini, angin dan ombak dari Laut Halmahera seakan menenangkan pulau seluas 2.330 km persegi itu.
Padahal, pada 75 tahun lalu, pulau itu dipenuhi ribuan tentara asing. Baku tembak di darat dan di udara memenuhi ruang-ruang bebas. Di laut, kapal perang dan kapal kecil lainnya telah bersiap mendukung logistik dalam pertempuran itu. Hingga aksi pertempuran itu, ribuan tentara dari kedua kubu tewas dan puluhan pesawat tempur jatuh.
Akibat pertempuran itu, beberapa hutan di wilayah Morotai Tengah masih tertanam sisa-sisa amunisi yang digunakan sekutu dan Jepang. Ishak mengatakan, sejak 2002, ia bersama sejumlah temannya memulai aktivitas pencarian amunisi sisa Pertempuran Morotai. Sebagian kecil hasil penemuannya itu juga dipamerkan di Museum Perang Dunia II.
Tak hanya sisa amunisi perang, museum itu juga menampilkan puluhan foto dari Pertempuran Morotai. Penjelasan tentang alur pertempuran itu juga tersedia di museum tersebut. Kemudian, ada pula miniatur kendaraan perang Sekutu, kalung milik tentara Sekutu yang gugur, dan replika seragam militer MacArthur.
Tidak terawat
Namun, kisah historis yang tersimpan di museum itu tidak dibarengi dengan keseriusan pengelolaan tempat tersebut. Tahun ini, museum itu berusia 7 tahun. Pada September 2012, museum itu diresmikan oleh presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Yudhoyono juga yang mencanangkan pembangunan museum itu ketika mengunjungi Morotai saat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada awal 2000-an.
Museum itu dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ishak dan kelima temannya sehari-hari membantu menjaga dan membersihkan museum itu. Ia mengungkapkan menerima upah Rp 750.000 setiap bulan.
Museum itu panas dan pengap karena pendingin ruangan tidak berfungsi. Padahal, di lima bagian ruangan itu terpasang satu pendingin ruangan dan sebuah alat pendingin portable.
”Listrik di museum dinyalakan dengan genset, tetapi minyak untuk genset sudah lama habis. Kami sudah mengajukan ke pemerintah daerah, tetapi belum diberikan,” ujar Ishak.
Selain itu, debu menempel di kaca yang mendominasi ruangan museum. Pelindung kaca yang melindungi ruangan museum dari sinar matahari juga terkelupas di beberapa bagian. Dari dua pintu di museum itu, hanya satu pintu dalam kondisi baik.
Bupati Pulau Morotai Benny Laos, dalam pemaparan perkembangan program Gerbangdutas di hadapan Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Senin (18/3/2019), juga mengusulkan agar aset museum itu diserahkan kepada pemerintah daerah.
Mukhlis (17), salah seorang pengunjung museum, menyayangkan kondisi museum yang terkesan tidak terawat. Ia berharap museum itu dapat diperindah sebab lokasi museum yang dilengkapi dengan anjungan itu menjadi tempat favorit masyarakat Morotai untuk berkumpul.
Semoga saja upaya menjaga ingatan terhadap Perang Pasifik di Morotai dapat terus dilestarikan. Jangan sampai museum itu kelak hanya menjadi sejarah.…