JAKARTA, KOMPAS — Sistem seleksi pejabat tinggi melalui daring belum berhasil menghadirkan mekanisme perekrutan pimpinan yang transparan dan akuntabel. Sistem daring saja ternyata tidak cukup untuk mencegah kecurangan dalam proses seleksi pejabat tinggi.
Kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang melibatkan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy menjadi salah satu contohnya. Sebelumnya, KPK menangani kasus serupa yang melibatkan sejumlah petinggi daerah.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Selasa (19/3/2019), mengatakan, sistem seleksi secara daring dimaksudkan agar proses pengisian jabatan lebih transparan dan membuka peluang kompetisi yang sehat. Namun, sistem tersebut tetap bisa diakali sejumlah pihak.
Oleh karena itu, menurut dia, perlu ada sistem pelaporan jika ditemukan kejanggalan dalam sistem seleksi pejabat tinggi secara daring. Hal ini penting agar kecurangan dapat dicegah.
Sementara itu, terkait dengan penanganan perkara dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama, penyidik KPK menyita sejumlah uang dan dokumen dari beberapa ruangan, termasuk ruang kerja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Uang senilai Rp 180 juta dan 30.000 dollar Amerika Serikat itu diduga terkait dengan perkara suap jual beli jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan Romahurmuziy.
”Sebagai bagian dari penanganan perkara, kami melakukan penyitaan terhadap uang tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan dengan perkara,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Meski demikian, Febri menegaskan, klarifikasi terhadap barang-barang yang disita penyidik tetap dilakukan saat pemeriksaan saksi nanti. Penyidik juga menggeledah rumah Romahurmuziy pada Senin (18/3/2019). Dalam kegiatan tersebut, sebuah laptop diambil tim penyidik.
Romy diduga terlibat dalam pengaturan pengisian jabatan kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Ia diduga telah menerima Rp 250 juta dari Haris Hasanuddin pada 6 Februari 2019 dengan maksud agar bisa lolos sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jatim. Pemberian selanjutnya, yakni Rp 50 juta, dari Kepala Dinas Kementerian Agama Gresik Muafaq Wirahadi.
Semula, Haris yang mendaftar melalui http://seleksijpt.kemenag.go.id/ dinyatakan tak lolos. Ia tidak termasuk tiga kandidat yang diajukan kepada Menteri Agama. Pasalnya, Haris pernah mendapatkan hukuman disiplin. Namun, Haris justru terpilih dan dilantik menjadi kepaala kanwil pada 5 Maret 2019.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, menjelaskan, berulangnya korupsi menunjukkan program reformasi birokrasi di Kementerian Agama tidak berjalan baik.
”Utamanya, belum terjadi perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur yang bebas korupsi. Proses seleksi pejabat yang semestinya dijalankan dengan prinsip merit system tidak berjalan. Pengisian jabatan pada praktiknya masih dipengaruhi kekuatan relasi politik,” ujar Oce.
Ia menambahkan, dampak seleksi jabatan yang koruptif berpotensi merusak institusi karena diisi oleh pejabat yang tidak berintegritas dan tidak kompeten. Kasus ini juga memberi gambaran lemahnya sistem pengawasan di Kementerian Agama sehingga patut didalami agar tidak terus berulang.