SURABAYA,KOMPAS — Calon presiden petahana Joko Widodo yang berpasangan dengan calon wakil presiden Ma’ruf Amin dinilai gagal membangun narasi yang mampu memenuhi ekspektasi pemilih berlatar belakang pendidikan tinggi. Sebaliknya, narasi perbaikan ekonomi dan kegagalan pemerintahan Jokowi yang terus digaungkan oleh kompetitor, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, mampu memikat kelompok pemilih tersebut.
Merujuk pada survei Litbang Kompas, akhir Februari hingga awal Maret 2019, pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi yang memilih Jokowi-Amin sebesar 39,4 persen. Jumlah ini turun sekitar 5 persen dari hasil survei Litbang Kompas, Oktober 2018, yang besarnya 44,9 persen.
Sebaliknya, jumlah pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi untuk Prabowo-Sandi meningkat, dari semula 38,8 persen menjadi 46,1 persen.
Untuk diketahui, survei terbaru Litbang Kompas melibatkan 2.000 responden yang tersebar secara acak di 34 provinsi Indonesia, menggunakan teknik pencuplikan sistematis bertingkat dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian 2,2 persen.
”Kelemahan petahana adalah gagal membangun narasi ke depan yang dapat merangkul ekspektasi dari kalangan kelas berpendidikan tinggi,” ujar pengajar di Departemen Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, Rabu (20/3/2019).
Tak hanya itu, kinerja pemerintahan Jokowi selama hampir lima tahun terakhir juga mengecewakan kalangan terdidik karena dinilai kurang konsisten menjalankan agenda demokrasi dan reformasi. Ini melemahkan dukungan kalangan berpendidikan tinggi yang berkomitmen pada demokrasi di kubu petahana.
”Sehingga, karena pemerintah kurang tanggap mengelola harapan dan mengawal demokrasi, banyak dari kalangan ini melihat pasangan calon 1 dan 2 tidak memiliki perbedaan. Dan mereka mulai melihat berdasarkan keinginan untuk coba-coba hal yang baru. Meskipun pilihan baru tadi juga tidak kalah problematiknya dilihat dari harapan dan democratic governance,” kata Airlangga.
Sebaliknya, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk melihat, narasi perbaikan ekonomi dan kegagalan pemerintah yang terus digaungkan oleh Prabowo-Sandi secara psikis menarik bagi kalangan berpendidikan tinggi. Pasalnya, ada ekspektasi akan hadirnya kualitas hidup yang tinggi bagi mereka yang berpendidikan tinggi.
Jadi, jika kinerja ekonomi pemerintahan saat ini tidak memuaskan bagi mereka, pilihan mereka akan jatuh untuk mendukung pasangan calon kompetitor.
”Mungkin karena ekspektasi mereka terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi perekonomian dunia saat ini,” ujar Hamdi.
Ditambah lagi, dia melihat kalangan dari kelompok tersebut kritis dalam memandang setiap kebijakan pemerintah. Hanya, ada kecenderungan pandangan kritis itu tidak digunakan untuk menilai tawaran yang diajukan oleh capres-cawapres lawan. ”Ini karena petahana yang sedang bekerja, maka cenderung disalahkan,” ujarnya.
Media sosial
Aksesibilitas terhadap internet dan media sosial yang tinggi pada kalangan berlatar belakang tinggi juga dipercaya Hamdi berkontribusi besar pada pergeseran itu. ”Ada kerentanan pada segmen ini terhadap hoaks dan motivated reasoning karena mereka bermain internet dan media sosial,” kata Hamdi.
Airlangga melihat hal yang sama. ”Sekalipun berpendidikan tinggi, tidak seluruhnya dapat membedakan antara informasi yang valid dan berita bohong,” katanya.
Dengan demikian, menurut Airlangga, agresivitas dan penguasaan narasi dan konten di media sosial menjadi penting. Hingga kini dia melihat, pendukung Prabowo-Sandi lebih agresif di media sosial. Mereka dilihat mampu mengonsolidasikan pendukung untuk menyebarkan berita-berita dan isu yang memojokkan petahana dan memperkuat dukungan bagi kubu mereka.
”Sementara pendukung kubu petahana tidak agresif dalam pertarungan di media sosial,” kata Airlangga.