Dua Jam Mendaki Jalur Terjal untuk Meliput Tambang Longsor
Meliput bencana atau peristiwa di lokasi rawan dan area terbatas membutuhkan siasat dan usaha lebih keras. Seperti pengalaman meliput runtuhnya lokasi tambang emas di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, belum lama ini. Mendaki jalan terjal selama dua jam, menembus hutan, dan menyusuri tepi sungai harus dilakoni untuk mencapai lokasi bencana.
Pada Rabu (27/2/2019) siang itu, saya sedang menyelesaikan sebuah tulisan saat redaktur di Jakarta menelepon. ”Ada kejadian tambang runtuh di Bolaang Mongondow, kamu bisa meliput? Untuk sementara pantau saja dulu via telepon dan tunggu kabar selanjutnya,” kata Gesit Ariyanto, Kepala Desk Nusantara, melalui sambungan telepon.
Walau berkata pantau lewat telepon dan tunggu kabar, saya sudah mulai mengecek penerbangan ke Manado. Pengalaman liputan peristiwa selama ini membuat saya tak ingin membuang waktu dan bersiap jika harus segera berangkat.
Benar saja, setengah jam kemudian, sekitar pukul 12.00 Wita, telepon kembali berdering. Isi pembicaraan singkat saja, ”Cari tiket, dan kalau bisa berangkat hari ini juga.”
Saya segera memesan tiket, lalu menghubungi seorang kawan di Manado, Adwit Pramono. Dia adalah fotografer dari Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Rupanya dia sudah dalam perjalanan ke Kota Kotamobagu. Kota ini memang yang terdekat dari lokasi peristiwa di Desa Bakan, Lolayan, dan masuk wilayah administratif Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara. Adwit memberi nomor telepon pemilik mobil rental.
Singkat cerita, saya terbang ke Manado pukul 20.40 Wita. Tiba sekitar pukul 22.30 Wita. Di bandara, saya bertemu Harry Susilo, wartawan Kompas yang berangkat dari Jakarta. Kami berdua memang ditugaskan untuk meliput peristiwa ini.
Kami dijemput Ardi, pemilik mobil rental yang telah saya hubungi dari Makassar. Malam itu juga kami meneruskan perjalanan ke Kota Kotamobagu. Saya menyempatkan tidur selama perjalanan dan dibangunkan sekitar pukul 05.00 Wita saat kami tiba di hotel. Kami melanjutkan istirahat sebentar sebelum bersiap ke lokasi.
Perjalanan dari hotel ke Desa Bakan menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Kami tiba di pertigaan tempat posko BPBD Kotamobagu berada. Di sini kami mengambil data dan informasi yang diperlukan dan juga mencari tahu bagaimana bisa masuk ke lokasi.
Mendaki jalur petambang
Lokasi tambang yang runtuh berada di pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Para petambang menggali di perut gunung dan membuat lubang yang kian membesar dan akhirnya runtuh. Tak mudah mencapai lokasi ini.
Kami memperoleh informasi, ada dua pilihan rute untuk mencapai lokasi yang, sayangnya, keduanya tidak mudah dilewati. Pertama, mengambil jalan pintas melewati perusahaan JResources Bolaang Mongondow (JRBM), perusahaan tambang emas di Bolaang Mongondow.
Memang, lokasi tambang yang runtuh sebagian masuk wilayah perusahaan. Lebih tepatnya, petambang ilegal selama ini menggali di lahan konsesi perusahaan.
Jalur ini membutuhkan waktu tempuh 2 jam lebih dengan berjalan kaki melewati jalur menanjak di sepanjang sisi sungai.
Untuk melewati jalan perusahaan, ada banyak syarat, di antaranya harus mendapat izin perusahaan, harus menggunakan kendaraan yang disiapkan perusahaan, atau setidaknya kendaraan yang memenuhi syarat di lokasi tambang.
Pilihan kedua, melewati jalur para petambang. Jalur ini membutuhkan waktu tempuh 2 jam lebih dengan berjalan kaki melewati jalur terjal menanjak di sepanjang sisi sungai. Tidak hanya itu, jalur ini membawa risiko kami akan bertemu petambang yang kemungkinan bereaksi negatif melihat niat kami meliput peristiwa longsor yang menimpa rekan-rekan mereka.
Namun, kami tak punya pilihan selain mengambil jalur petambang. Saat itu, selain saya dan Harry atau yang akrab disapa Ilo, ada enam wartawan lain. Pertimbangan memilih jalur para petambang karena hari makin siang dan kami mengejar waktu. Sementara belum ada tanda-tanda kami bisa masuk lewat jalur perusahaan.
Jalur petambang emas ini dimulai dengan melewati kebun kakao milik warga. Selepas kebun kakao, kami melewati kios-kios dan warung makan yang biasanya menjadi tempat para petambang makan atau membeli bekal yang akan dibawa ke lubang galian. Sebagian kios dan rumah makan tampak tutup. Di antara kios-kios ini terdapat barak-barak pengolahan emas yang juga terlihat sepi.
Selanjutnya, kami mulai masuk hutan dengan jalur yang kian menanjak. Kami juga sempat melewati jejeran puluhan kendaraan roda dua milik para petambang yang menjadi korban.
Tempat kendaraan ini adalah batas di mana kendaraan roda dua bisa masuk dan berbatasan dengan sungai. Selanjutnya, perjalanan dilakukan dengan menyusuri sungai yang sebagian kering. Beberapa kali kami harus memanjat batu besar yang licin di sungai.
Setelah dua jam berjalan, kami mendekati lokasi. Di depan kami tampak lubang yang runtuh dan letaknya berada di kemiringan sekitar 80 derajat. Namun, baru saja akan menyelesaikan tanjakan terakhir, tiba-tiba serombongan petambang dan keluarga korban berlarian turun dari arah lubang.
Baca juga: Memberondong Pulau Gundul hingga Menikmati Mi Kapal Perang
Setelah peristiwa yang terjadi pada Selasa (26/2/2019) malam, memang banyak petambang emas dan keluarga yang mendatangi lubang. Mereka berharap bisa menolong rekan atau keluarga mereka yang tertimbun.
Rupanya para petambang ini dihalau turun oleh aparat TNI dan polisi. Saat itu area sekitar lokasi harus steril karena petugas akan melakukan operasi amputasi kepada seorang korban yang tertindih batu besar.
Meski susah payah, saya tetap mendaki jalan sempit yang kian menanjak di antara puluhan petambang yang berlarian turun di jalur yang sama. Sebagian petambang yang melihat saya dan wartawan lain yang menerobos naik kemudian marah. Mereka protes kepada aparat.
”Kenapa torang disuruh turun, kong itu parampuang boleh nae (kenapa kami disuruh turun, sementara perempuan itu boleh naik),” teriak beberapa petambang.
Tentu saja saya yang mereka maksud. Namun, saya tak peduli dan terus mendaki jalan sempit yang tanahnya labil. Saat tiba di depan lubang, suasana mencekam.
Tanah dan bebatuan di lubang galian terus menunjukkan tanda-tanda akan runtuh. Sementara di dalam, di lubang yang sempit, tim SAR sedang melakukan upaya menyelamatkan seorang petambang.
Setelah mengambil gambar dan wawancara, kami bersiap turun. Beruntung, saat itu kami diizinkan keluar melalui jalan di area perusahaan. Kami mendaki sekitar setengah jam untuk tiba di lokasi parkir kendaraan roda empat dan menumpang hingga gerbang perusahaan.
Negosiasi alot
Liputan hari pertama sukses. Namun, pada hari kedua, kembali kami tak diizinkan masuk lewat jalur perusahaan. Kami semua bertahan di gerbang perusahaan dan terus melakukan upaya negosiasi agar mendapat izin. Sulitnya akses ke lokasi melalui jalur perusahaan juga disebabkan klaim perusahaan yang menyebut area tambang sebagai kawasan terbatas.
Kabar baik akhirnya datang pada petang hari saat Kepala Basarnas Marsdya TNI Bagus Puruhito direncanakan datang ke lokasi. Beberapa perwakilan wartawan diizinkan masuk, tetapi hanya untuk wawancara di lokasi. Saya tidak masuk karena hanya satu perwakilan media yang diizinkan.
Kami semua bertahan di gerbang perusahaan dan terus melakukan upaya negosiasi agar mendapat izin.
Saya menunggu di gerbang hingga hari mulai gelap. Dingin mulai menusuk, sementara rombongan Kepala Basarnas dan Bupati belum juga muncul. Pihak Kantor SAR Manado sempat membisiki saya untuk masuk dengan menyusup pada truk yang akan masuk dan duduk bersembunyi di antara tim SAR.
Risikonya, saya harus siap diturunkan di tengah jalan dan berjalan kaki kembali ke gerbang jika ketahuan petugas pengamanan perusahaan. Saya menolak karena rekan saya, Ilo, sudah berada di dalam. Saya menunggu sembari mengetik, ditemani seorang petugas intel Kepolisian Resor Kotamobagu hingga akhirnya rombongan keluar sekitar pukul 21.30 Wita.
Sulitnya masuk melalui jalan perusahaan membuat kami keesokan harinya nekat masuk melalui jalur petambang yang saat itu sudah dijaga aparat TNI dan polisi dari berbagai sisi. Jalur ini sudah ditutup. Saat itu kami menyusun skenario liputan. Jika berhasil masuk, kami akan bisa mengambil gambar dan melihat proses evakuasi dari sisi sebelah lubang. Namun, jika ternyata bertemu petugas, kami akan memberi alasan bahwa kami meliput proses penjagaan.
Ternyata skenario kedua yang terjadi. Belum jauh masuk ke dalam, kami dihadang petugas gabungan TNI AD, Marinir, dan polisi. Kami memperkenalkan diri dan menyatakan akan melihat dan mengambil gambar situasi penjagaan.
Mereka mengizinkan dan kami juga akhirnya melakukan wawancara. Saat mendengar bahwa sebagian jalan sudah tertutup material galian dan kondisinya sangat berbahaya, kami mengurungkan niat untuk membujuk agar diizinkan masuk.
Jalan negosiasi kembali dipilih. Sejumlah wartawan mulai protes soal tak diizinkan masuk. Ilo mencoba menghubungi pihak Basarnas. Saya dan beberapa teman mencoba bicara dengan anggota Humas JRBM.
Sore itu pihak Basarnas dan perusahaan mengizinkan hanya lima wartawan yang masuk, di antaranya saya dan Ilo. Tentu saja ini mendapat protes keras dari wartawan lain hingga akhirnya tak satu pun yang bisa masuk.
Setiap kali masuk, rasanya kami seperti tahanan yang akan dipindahkan.
Keesokan harinya negosiasi kembali dilakukan hingga keluar keputusan bahwa setiap media cetak dan online hanya bisa diwakili satu wartawan dan masing-masing dua untuk televisi. Saya akhirnya mengambil satu jatah Kompas TV yang saat itu kebetulan hanya menugaskan satu reporter untuk ke lokasi karena kru lainnya harus menyiapkan siaran langsung.
Hari-hari selanjutnya, akhirnya kami bisa meliput langsung ke lokasi. Namun, kami tetap harus mengikuti semua persyaratan. Setiap kali masuk, rasanya kami seperti tahanan yang akan dipindahkan.
Setiap wartawan dicatat namanya, lalu diabsen dan difoto saat hendak masuk kendaraan. Di tengah perjalanan, kendaraan akan singgah di pos pengamanan. Kami kembali diperiksa dan difoto.
Kami juga harus berjalan kaki mendaki dan menurun dari batas pemberhentian kendaraan ke lokasi. Di sekitar lokasi evakuasi, kami harus ekstra hati-hati karena kondisi tanah yang labil bisa setiap saat runtuh.
Setelah 10 hari, liputan ini akhirnya selesai. Tim SAR menyatakan evakuasi harus dihentikan walaupun belum semua korban berhasil dikeluarkan. Longsor besar susulan yang terjadi dan menutup mulut lubang membuat evakuasi harus dihentikan.
Saya kembali ke Manado dengan menyimpan banyak tanya: berapa sesungguhnya korban yang masih tertimbun di dalam, 60, 80, atau lebih dari 100 orang sebagaimana kesaksian sejumlah petambang yang selamat. Juga pertanyaan tentang dugaan keterlibatan sejumlah pihak, termasuk aparat keamanan, pemerintah desa, hingga oknum pengamanan perusahaan yang membuat para petambang leluasa berdatangan, mengambil tanah, dan bebatuan mengandung emas, hingga akhirnya menggali lubang kematian mereka sendiri.