KAIRO, KOMPAS -- Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengadakan kunjungan dua hari, Rabu dan Kamis (20-21/3/2019), ke Israel. Israel merupakan persinggahan kedua dalam lawatan menlu AS itu ke Timur Tengah saat ini setelah kunjungan ke Kuwait, hari Selasa dan Rabu lalu. Hari Jumat, Pompeo dijadwalkan melanjutkan kunjungan ke Lebanon.
Israel menjadi persinggahan terpenting bagi lawatan Pompeo ke Timur Tengah. Israel merupakan kekuatan kunci dalam aliansi melawan Iran, dan dalam upaya menggerakkan kembali proses perdamaian Palestina-Israel. Seperti dimaklumi, misi utama lawatan Pompeo itu membangun aliansi melawan Iran.
Pompeo dalam forum dialog strategis dengan Pemerintah Kuwait, hari Rabu lalu, di Kuwait City menegaskan pentingnya dibangun koalisi strategis Timur Tengah atau pakta pertahanan--semacam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)--Arab untuk menyatukan kekuatan Arab melawan Iran.
Pompeo mengimbau segera diakhirinya konflik Qatar dengan Arab Saudi, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA). Ia meminta secara khusus kepada Menlu Kuwait, Sheikh Sabah Khaled al-Sabah, untuk terus melakukan mediasi guna menciptakan rekonsiliasi Qatar dengan Arab Saudi, Bahrain, dan UEA.
Konflik Qatar dengan Arab Saudi saat ini dianggap melemahkan aliansi melawan Iran, dan juga menghambat terbentuknya NATO Arab.
Pompeo dalam konferensi pers dengan PM Israel, Benjamin Netanyahu, Rabu malam lalu, di Jerusalem kembali menegaskan pentingnya menghadapi gerakan bahaya Iran di Timur Tengah. Ia menyebut, tekanan yang dilakukan AS terhadap Iran telah membuahkan hasil, namun tekanan harus diperkuat dan diperluas.
Adapun Netanyahu juga menegaskan, Iran merupakan ancaman utama terhadap stabilitas dan keamanan regional serta internasional. "Gerakan Israel tidak terbatas dalam menghadapi Iran di Suriah dan di manapun saja,” ungkap dia.
Netanyahu mengungkapkan, Hezbollah terus meningkatkan aktivitasnya di Dataran Tinggi Golan yang sangat mengancam keamanan Israel. Hezbollah adalah loyalis Iran di Lebanon yang ikut terlibat dalam perang di Suriah sejak tahun 2013.
Netanyahu lalu meminta AS segera mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan itu sebagai bagian dari aksi melawan pengaruh Iran di Suriah. Seperti diketahui, laporan tahunan tentang hak asasi manusia (HAM) yang dikeluarkan kementerian luar negeri AS pada 13 September lalu tidak menyebut Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah pendudukan. Laporan itu menyebut Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah yang berada di bawah kontrol Israel.
Namun, Pompeo menolak menjawab permintaan Netanyahu tentang Dataran Tinggi Golan. Hal itu memberi isyarat AS saat ini belum siap mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Menurut pejabat AS dan Israel yang tak mau diungkap namanya, pengakuan AS terhadap kedaulatan Israel di Dataran Tinggi Golan diperkirakan akan diberikan Gedung Putih dalam kunjungan Netanyahu ke Washington, pekan depan. Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah yang diduduki Israel pada perang Arab-Israel tahun 1967.
Selain mengangkat isu Iran, Pompeo juga mengimbau digerakkan kembali proses perdamaian Timur Tengah. Disinyalir, AS akan menyampaikan konsep perdamaian Timur Tengah, yang kerap digembar-gemborkan dengan sebutan "Transaksi Abad Ini", pasca-pemilu Israel, 9 April mendatang.
Namun, AS dan Israel saat ini sedang mengalami krisis hubungan dengan Palestina. Pihak Palestina masih menolak melakukan komunikasi dengan AS sejak AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017.
Situasi di Tepi Barat juga dalam keadaan tegang, menyusul tindakan tentara Israel dalam dua hari ini membunuh tiga pemuda Palestina. Seorang dari tiga pemuda Palestina itu adalah Omar Abu Laila (19) yang membunuh seorang tentara Israel dan seorang petinggi agama Yahudi di Salfit, Tepi Barat, pada hari Minggu lalu.