Kota Solo menyisakan jejak sejarah sebagai salah satu pusat budaya dan pelesiran di Jawa Tengah. Selain melahirkan berbagai produk budaya adiluhung, di sini, pernah hidup 43 nama bioskop. Kini, seluruhnya tutup. Roboh berganti bangunan lain seiring zaman.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
Kota Solo menyisakan jejak sejarah sebagai salah satu pusat budaya dan pelesiran di Jawa Tengah. Selain melahirkan berbagai produk budaya adiluhung, di sini, pernah hidup 43 nama bioskop. Kini, seluruhnya tutup. Roboh berganti bangunan lain seiring zaman.
Dalam diskusi sejarah dan heritage #2 "Perjalanan Sejarah Bioskop di Surakarta" yang digelar Surakarta Heritage Society bersama Rumah Budaya Kratonan di Solo, Kamis (22/3/2019) malam, Arie Headbang, pengkaji sejarah bioskop di Solo mengatakan, ke-43 bioskop di Solo hidup dan menyemarakkan ruang budaya warga sejak tahun 1914 hingga 2000.
Menurut Arie, setelah bioskop masuk ke Indonesia pada tahun 1900, bioskop pertama dibuka di Solo pada 1914. Sejak itu, mulai bermunculan bioskop-bioskop baru. Bioskop tumbuh sumbur karena Solo sejak dulu dikenal sebagai kota pelesiran.
“Sejak 1914 hingga 2000 ada 43 nama bioskop di Solo. Itu banyak sekali. Meskipun setelah dikaji, di satu gedung bioskop yang sama, ada yang gonta-ganti nama karena ganti manajemen,” ujarnya.
Sejumlah bioskop yang dibuka pada masa kolonial Belanda antara lain, Shcouwburg Bioscoop, Rex Bioscoop, Alhambra Bioscoop, De Capitol Bioscoop, dan Sriwedari Bioscoop. Pada era pendudukan Jepang, pemutaran film di bioskop diawasi ketat dan bioskop menjadi alat propaganda tentara Jepang.
Pada 1943, Jepang mewajibkan bioskop-bioskop yang namanya berbau barat diganti. Schouwburg Bioscoop berubah nama menjadi Bioskop Indra dan Alhambra Bioscoop yang pada 1930 menjadi Grand Theatre lalu berubah lagi menjadi Dewi Theatre. Sementara Rex Bioscoop menjadi Restu Theatre dan Star Bioscoop menjadi Widuri Theatre.
Sejak 1914 hingga 2000 ada 43 nama bioskop di Solo. Itu banyak sekali. Meskipun setelah dikaji, di satu gedung bioskop yang sama, ada yang gonta-ganti nama karena ganti manajemen
Pascakekalahan Jepang, kehadiran bioskop baru di Solo bak cendawan di musim hujan. Beberapa di antaranya Ura Patria (UP) Theatre, Srikaton Theatre, dan Dhady Theatre. Rentang tahun 1970 hingga 1990, industri bioskop mencapai kejayaannya. Gedung-gedung bioskop setiap malam penuh sesak oleh pengunjung.
Nama-nama bioskop lain yang pernah ada di Solo antara lain President Theatre, Galaxy Theatre, dan Fadjar Theatre yang kemudian berganti menjadi New Fajar Theatre dan berganti lagi menjadi Fajar Baru Theatre. Selain itu ada juga Trisaksi yang sebelumnya bernama Srikaton Theatre. Bioskop lain yaitu Wijaya Theatre, Remaja Theatre, Pemuda Theatre, Dewi Theatre, Rama Theatre, dan Solo Theatre.
“Hampir semua gedung bioskop itu sudah dirobohkan berganti bangunan lain. Tingal dua yang masih tersisa walaupun berubah pemanfaatanya, yaitu bekas Dhady Theatre dan Alhambra,” kata Arie.
Pada awal 1990, bioskop modern muncul dengan konsep multipleks, yaitu satu lokasi bioskop memiliki lebih dari satu layar dengan dibukanya Atrium 21 di Solo Baru, Sukoharjo. Bioskop-bioskop konvensional di Solo mencoba mengikuti konsep itu. Namun selepas tahun 2000, menjamurnya video, VCD, laser disc, TV, dan DVD membuat banyak bioskop-bioskop itu tutup. Saat ini yang masih ada di Solo hanya bioskop jaringan Cinema 21 di sejumlah mal.
Yanto Martono, warga Solo menuturkan bioskop pada masanya telah menjadi hiburan semua kalangan masyarakat karena menawarkan tiket murah hingga mahal. Etika menonton kala itu tidak terlalu jadi patokan. Semisal, jika film yang diputar bergenre silat, para penonton akan bertepuk tangan riuh ketika sang jagoan mengalahkan lawannya.
Bioskop, pada masanya telah menjadi hiburan semua kalangan masyarakat karena menawarkan tiket murah hingga mahal.
Hal-hal menjengkelkan juga sering terjadi. “Kadang di tengah pemutaran film listrik tiba-tiba mati karena saat itu tidak ada diesel,” ujarnya.
Catatan keberadaan puluhan bioskop di Solo setidaknya bisa menjadi refleksi terhadap minimnya ruang publik seni dan budaya di Kota Bengawan saat ini. Sebab, keberadaan simpul-simpul sosial budaya seperti ruang pertunjukan dan bioskop, niscaya membangun peradaban kota.