Hadirin adalah titik mula sekaligus tujuan dalam menyampaikan pesan. Tak heran, dalam segitiga retorika Aristoteles, hadirin menjadi patokan utama. Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 Ma\'ruf Amin pun menyadari hal ini.
"Ada yang bilang ulama itu seperti daun salam. Daun salam itu bermanfaat untuk membuat masakan sedap dan wangi. Tetapi ketika masakan sudah matang, yang pertama kali dibuang itu malah daun salam. Nah, selama ini, ulama selalu dicari dukungannya sebelum pemilu, tetapi ketika sudah terpilih, tidak dipakai lagi, tidak masuk kabinet. Tetapi kali ini, Pak Jokowi menggandeng saya, seorang ulama untuk turut jadi pimpinan nasional," ucap Ma\'ruf di Pondok Pesantran Annuqayah, Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Selasa (19/3/2019). Para kyai dan santri yang hadir pun menyambutnya dengan senyum lebar sambil bertepuk tangan riuh.
Selama sepekan, dimulai sejak Senin (18/3/2019), setelah berlaga dalam debat ketiga Pemilihan Presiden 2019, Ma\'ruf langsung menggelar safari politik mengunjungi Sumenep, Pamekasan, Gresik, dan Jombang di Jawa Timur, lalu menyeberang ke Balikpapan serta Samarinda di Kalimantan Timur. Delapan kota dalam 5 hari hingga Jumat (22/3/2019) ini. Di seluruh kota itu, Ma\'ruf menuturkan kisah daun salam tadi hampir dalam setiap kesempatan silaturahmi dengan masyarakat.
Selama masa kampanye Pemilu 2019, salah satu isu besar yang memang harus dijawab tuntas oleh Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Ma\'ruf Amin adalah Jokowi memperalat Ma\'ruf sebagai ulama hanya sebagai vote-getter. "Kalau saya hanya alat, memangnya saya pacul (cangkul), apa?" kata Ma\'ruf mengundang gelak tawa para kyai dan santri.
Analogi sederhana
Penggunaan analogi yang sederhana diharapkan berhasil menyampaikan pesan politik yang kompleks tersebut. Namun, tampaknya dalam safari politik ini, tidak hanya konten pesan yang menjadi perhatian, tetapi hadirin yang hadir juga menjadi pertimbangan serius.
Lawatan Ma\'ruf ke Jawa Timur dan Kalimantan Timur ini praktis menjadi kampanye rapat terbatas terakhir sebelum dimulainya tahapan rapat umum terbuka pada Minggu (24/3/2019). Berbeda dengan rapat umum yang memungkinkan masyarakat luas hadir dalam kampanye, rapat terbatas menawarkan hadirin yang lebih homogen.
Sembilan dari 12 titik kunjungan Ma\'ruf memiliki hadirin kalangan santri serta kyai dan bahkan di beberapa tempat melibatkan tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh adat. Contohnya, pada kunjungannya di Pesantren Nabil Husein, Samarinda, para petinggi adat Dayak Kenya pun turut hadir dan juga menyambut Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Pesan pun dapat dirancang untuk kalangan ini. Ma\'ruf mengungkapkan, para ulama, kyai, ustaz, dan para pemuka adat lokal memang disasar secara khusus dalam safari politik ini.
Ditambah, sebagai petinggi PBNU, kunjungannya ke berbagai pesantren selayaknya bermain di "kandang" sendiri. Berdasarkan survei Litbang Kompas, latar belakang agama Ma\'ruf menjadi pertimbangan utama bagi 54 persen pemilih paslon Jokowi-Amin.
Ma\'ruf serius menggarap segmen ini, dibandingkan kalangan-kalangan lain seperti pengusaha mikro dan kecil ataupun kaum milenial urban. Hal ini karena, Maruf meyakini, para kyai dan santri, selain memiliki pengaruh yang luas bagi masyarakat, juga memiliki militansi yang kuat.
"Saya selalu berusaha menemui para ulama yang memimpin jemaah tarekat, mereka patuh sekali dengan guru mereka dan militan," kata Ma\'ruf.
Patronase
Kyai dan pemuka adat lokal memang diyakini memiliki peran yang penting dalam upaya peningkatan dukungan dalam sisa waktu kampanye yang terbatas ini.
Staf pengajar Departemen Politik Universitas Airlangga Airlangga, Surabaya, Pribadi Kusman menilai, pertarungan mengambil suara dalam sebulan terakhir sebelum hari pencoblosan akan sangat ditentukan oleh kemampuan merangkul simpul massa.
Hal ini karena pemilih Indonesia, khususnya segmen berlatar belakang pendidikan rendah, cenderung memiliki karakter politik patronase. Keputusan politik seseorang atau bahkan sebuah komunitas, akan sangat ditentukan oleh sikap politik patron mereka.
Di Indonesia, orang yang memegang peran patron, antara lain adalah kyai, ulama, ustad, dan tokoh adat setempat. Sebagai ulama yang pernah terlibat dalam politik praktis, Ma\'ruf sangat memahami hal tersebut.