Ekspor karet lempengan tahun ini meningkat empat kali lipat dari tahun 2017 dengan nilai mencapai Rp 2,3 triliun. Namun, peningkatan itu tidak banyak berpengaruh terhadap harga getah karet mentah di kalangan petani. Panjangannya jalur distribusi masih menjadi kendala utama.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ekspor karet lempengan di Kalimantan Barat terus menunjukkan peningkatan. Namun, peningkatan volume dan nilai ekspor belum berpengaruh pada harga getah karet mentah petani. Panjangnya rantai distribusi masih menjadi kendala utama.
Berdasarkan data Badan Karantina Pertanian Kelas II Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ekspor karet lempengan pada 2018 meningkat empat kali lipat dibandingkan pada 2017. Pada 2017, tercatat ekspor karet lempengan sebanyak 4.753 ton dengan nilai Rp 84 miliar. Pada 2018 menjadi 129.837 ton dengan nilai Rp 2,3 triliun. Karet tersebut dikirim ke beberapa negara, seperti China, Vietnam, Malaysia, dan Jerman.
Pelepasan ekspor terakhir terjadi pada Kamis (21/3/2019). Kepala Bidang Tumbuhan Nonbenih Pusat Karantina Tumbuhan Badan Karantina Pertanian Turhadi Noerachman melepas ekspor karet sebanyak 522 ton dengan nilai Rp 9 miliar.
Tanpa sertifikat itu, banyak negara tidak mau menerima produk tersebut.
Ada pula ekspor dan beberapa jenis turunan minyak kelapa sawit, seperti Palm Kernel Expeller sebanyak 8.308,38 ton dengan nilai Rp 36 miliar dan 19.000 ton Palm Kernel Olein dengan nilai Rp 134 miliar di Pelabuhan Bagendang, Kabupaten Kotawaringin Timur. Total nilai ekspor seluruhnya mencapai Rp 178 miliar.
Turhadi mengungkapkan, kemudahan pelayanan sertifikasi ekspor kepada pelaku usaha menjadi salah satu faktor tingginya nilai ekspor. Tanpa harus ke kantor karantina, pelaku usaha bisa mengajukan permohonan untuk dilakukan pemeriksaan. Tanpa sertifikat itu, banyak negara tidak mau menerima produk tersebut.
”Kemudahan tersebut berupa PPK Online dan Inline Inspection dalam persyaratan sanitary and phytosanitary (SPS) sebelum dikirim ke negara tujuan,” kata Turhadi.
Kepala Karantina Palangkaraya Parlin Robert Sitanggang menambahkan, potensi ekspor di Kalteng beranekaragam. Potensinya tak hanya sawit, tetapi juga karet, dan bahkan sarang burung walet. ”Kualitas pembangunan harus terus diperbaiki agar investor tertarik berinvestasi di sini,” kata Parlin.
Parlin menambahkan, industri beberapa komoditas, baik karet maupun sawit, belum optimal. Hal itu membuat komoditas harus dikirim ke Pulau Jawa untuk diproses menjadi barang setengah jadi atau barang jadi sebelum diekspor.
”Kalau kualitas dan pembangunan meningkat, ini akan mempersingkat waktu dan memotong biaya yang harus dikeluarkan sehingga nilai ekonomi akan menjadi lebih besar,” kata Parlin.
Belum terasa
Meskipun nilai ekspor karet lempengan tinggi, hal itu belum berdampak banyak pada harga karet di kalangan petani. Panjangnya jalur distribusi membuat petani karet gigit jari.
Kepala Desa Gohong Yanto L Adam mengungkapkan, produksi karet di desanya tak lagi prima. Sebelum harga jatuh, semua masyarakat rajin menyadap karet. Saat ini, sebagian masyarakat malah beralih ke budidaya sengon.
Beberapa petani bahkan telah menebang pohon karetnya. Di desa itu, harga karet hanya Rp 4.500 per kilogram. ”Setiap ada (komoditas) yang menjanjikan, pasti petani akan dengan mudah beralih,” ujar Yanto di Pulang Pisau, Jumat (22/3).
Di Tumbang Rungan, Kota Palangkaraya, harga karet mentah berada di kisaran Rp 6.000-Rp 6.500 per kilogram. ”Sekarang tidak nyadap karet dulu. Saya cari yang lain, harga (karet) terlalu rendah,” ucap Aling (52), warga Tumbang Rungan.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Kalimantan Selatan-Kalteng Vincentius Oei mengatakan, adanya intermediari atau pengepul dalam rantai perdagangan karet masih menjadi kendala utama. Petani karet di desa-desa pun bergantung kepada pengepul karena ongkos yang dikeluarkan akan lebih tinggi jika langsung menjual ke pabrik.
”Akses mereka ke industri terlalu panjang dan jauh. Cara paling cepat adalah menjual kepada pengepul,” ujar Vincentius.
Vincentius menambahkan, saat ini, petani mulai memahami kondisi karet yang kurang prima karena keadaan global. Mereka tak lagi menyalahkan industri yang selalu menjadi ”kambing hitam” turunnya harga karet.
”Sekarang ini di pabrik harganya terus menguat menjadi Rp 9.000 per kilogram, tergantung kadar keringnya. Mereka (petani) dan pemerintah tahu bahwa industri tidak menurunkan harga,” kata Vincentius.