JAKARTA, KOMPAS — Meskipun Uni Eropa memberi sinyal kepercayaan diri menghadapi rencana gugatan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah tidak risau. Pemerintah tetap menilai ada usaha diskriminatif yang dilakukan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia.
Diskriminasi itu tampak dari kesimpulan Komisi Eropa yang tidak merekomendasikan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN) dalam rancangan dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II.
”Boleh saja Uni Eropa (UE) percaya diri menghadapi rencana gugatan Indonesia ke WTO. Kita tidak perlu risau karena kita yakin tindakan UE diskriminatif terhadap CPO Indonesia,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Dalam siaran pers yang diterima, UE menyatakan telah mematuhi aturan dan putusan WTO serta tidak melakukan tindak diskriminatif. Kriteria dalam rancangan dokumen didasarkan pada prinsip keberlanjutan yang tidak membeda-bedakan sumber bahan baku untuk BBN.
Prinsip keberlanjutan yang diterapkan dalam penyusunan RED II juga telah memperhatikan dukungan publik dan target energi terbarukan UE. ”Aturan pelaksanaan dari Komisi Eropa ini bukan suatu awal ataupun akhir dari proses kebijakan. Hal ini merupakan langkah dalam perjalanan panjang dan bersama menuju pembangunan berkelanjutan dan netralitas karbon,” kata Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Guerend.
UE tetap terbuka dalam berdialog terkait kedudukan CPO dalam RED II. Jika dibutuhkan, Komisi Eropa akan mengkaji ulang data dan metodologi yang menyangkut RED II pada 2021 dan merevisi dokumen Delegated Act (aturan pelaksanaan Komisi Eropa terkait) terkait pada 2023.
Dalam kerangka kajian ulang itu, UE akan mempertimbangkan perkembangan penerapan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), kebijakan moratorium lahan kelapa sawit, kebijakan satu peta, dan rencana aksi nasional yang menyangkut CPO Indonesia.
Boleh saja Uni Eropa (UE) percaya diri menghadapi rencana gugatan Indonesia ke WTO. Kita tidak perlu risau karena kita yakin tindakan UE diskriminatif terhadap CPO Indonesia.
Selain itu, UE juga mengakui, produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain, seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Hal ini senada dengan data Kementerian Koordinator Perekonomian yang dihimpun dari Independent Research and Advisory Indonesia yang memaparkan, rata-rata produktivitas setara minyak nabati untuk kelapa sawit 4 ton per hektar, bunga matahari 0,6 ton per hektar, rapeseed 0,7 ton per hektar, dan kedelai 0,4 ton per hektar.
Sebelumnya, Komisi Eropa telah menyerahkan rancangan Delegated Act terkait RED II kepada Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa pada 13 Maret 2019. Dalam kurun waktu dua bulan, kedua lembaga itu akan mengkajinya untuk menentukan sah atau tidaknya aturan tersebut.
Pasar Eropa
UE juga menyatakan, saat ini pasar UE yang terdiri atas 28 negara anggota terbuka untuk CPO. Sebagian besar CPO Indonesia memasuki pasar UE dengan tarif nol atau tarif rendah.
Kementerian Koordinator Perekonomian mendata, sekitar 60 persen CPO ke pasar Uni Eropa dimanfaatkan untuk BBN. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, negara-negara anggota yang memanfaatkan CPO untuk BBN adalah Spanyol, Italia, Belanda, dan Perancis.
Dibandingkan dengan tahun lalu, ekspor CPO ke negara-negara tersebut turun pada periode Januari-Februari 2019. Ekspor ke Jerman turun 67,33 persen, Italia turun 22,39 persen, Spanyol turun 6,52 persen, dan Belanda turun 38,65 persen.
Oleh sebab itu, Darmin berpendapat, keterbukaan pasar Uni Eropa itu semu. ”Jika Delegated Acts diadopsi, negara-negara itu tak lagi gunakan CPO untuk BBN,” ucapnya.
Sebelumnya, Darmin mengambil langkah untuk meminta dukungan perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara-negara UE dan berinvestasi di Indonesia. Menurut Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta, strategi ini dapat membuka dialog antara pelaku usaha di sana dan Uni Eropa dalam kerangka memperjuangkan CPO berbasis kebutuhan industri.