Pemerintah Cegah Kematian Dini Udang
JAKARTA, KOMPAS – Sejauh ini, udang Indonesia masih terbebas dari penyakit nekrosis akut pada hepatopankreas (AHPND) yang dapat menimbulkan kematian dini. Meski demikian, langkah antisipatif perlu terus digalakkan secara serius agar tidak menimbulkan kerugian bagi industri perudangan nasional.
Wabah AHPND telah menjadi momok menakutkan bagi para pelaku usaha udang di berbagai negara terjangkit. AHPND pertama kali teridentifikasi di China (2009) dengan sebutan Covert Mortality Disease. Kemudian menyebar ke Vietnam (2010), Malaysia (2011), Thailand (2012), Meksiko (2013), Bangladesh (2014), dan Filipina (2015).
Dampaknya, terjadi penurunan produksi udang secara drastis. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, dalam kurun waktu tiga tahun, produksi udang di Thailand turun dari 609.552 ton (2013) menjadi 273.000 ton (2016). Sementara kerugian ekonomi akibat AHPND di Vietnam sepanjang 2013 - 2015 mencapai 216,23 juta dollar AS.
“AHPND merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin dan menyebabkan kematian pada udang. Maka, segala potensi risiko dalam industri budidaya udang nasional harus diantisipasi secara serius,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Kematian akibat AHPND terjadi pada udang berumur kurang dari 40 hari setelah ditebar dengan mortalitas mencapai 100 persen. Pada umumnya, penyakit ini menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei)
Slamet dengan tegas menyatakan, persoalan ini tentu menjadi fokus perhatian bersama agar Indonesia tidak mengalami kerugian. Saat ini, KKP tengah menyiapkan langkah antisipatif pencegahan penyakit AHPND dalam industri udang nasional.
“Kami telah melakukan surveilans di sentra-sentra budidaya udang di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Setelah dicek, kami tidak menemukan indikasi AHPND,” kata Slamet.
Sebagian besar sampel terdeteksi positif White Spot Disease (WSD). Selain WSD, dalam tiga tahun terakhir tercatat, penyakit udang Indonesia masih di dominasi oleh serangan Infectious Myonecrosis Virus, White Feces Disease , dan Enterocytozoon hepatopenaei.
Slamet menyampaikan, guna terus mengantisipasi penyebaran APHND, selanjutnya surveilans akan dilakukan pada April 2019 di Bali dan Jawa Tengah. Setelah itu, akan dilaksanakan juga surveilans kedua di lokasi – lokasi yang sama pada Juli hingga Agustus 2019.
Tak hanya itu, Indonesia juga terus mewaspadai masuknya penyakit lintas batas (transboundary disease) yang dapat mengancam industri perudangan nasional. Strategi ini dilakukan dengan memperketat pengawasan beberapa pelabuhan strategis terhadap masuk dan keluarnya induk dan benih dari dan ke luar negeri.
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Pangan (BKIPM) KKP Rina menyampaikan, beberapa kali persoalan yang dihadapi memang berasal dari wilayah perbatasan. Maka, pemeriksaan lalu lintas perbatasan harus terus dilakukan.
“Langkah ini kami tempuh dengan mengikuti gugus tugas yang telah disusun bersama Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Selain memeriksa lalu lintas, kami juga terus menjaga agar tidak ada penyakit AHPND yang masuk dari negara tetangga,” papar Rina.
Selain itu, KKP juga mewajibkan karantina dengan menguji semua produk yang masuk ke Indonesia. KKP juga melengkapi karantina dengan fasilitas Real-time polymerase chain reaction (PCR) dan nested PCR agar gejala dan sumber Vibrio parahaemolyticus (VP) yang diduga AHPND dapat segera dimusnahkan dan dilacak sumbernya.
Menyambut upaya baik dari pemerintah, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto menyampaikan dukungannya terhadap langkah-langkah antisipasi yang sedang dan akan dilakukan. Ia pun menyatakan, Indonesia tidak perlu terlalu khawatir terkait dengan APHND yang menyebar di berbagai negara.
“Kita punya situasi pertambakan yang berbeda. Negara lain menggunakan air sungai, sementara kita air laut. Jadi, penyakit udang yang terjadi di Indonesia lebih karena degradasi lingkungan. Tapi memang sinergitas dengan pemerintah ini harus terus dilakukan,” ujarnya.
Apa itu penyakit vibrosis pada udang?
Vibriosis merupakan penyakit pada udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio.sp. Bakteri genus Vibrio yang menyebabkan penyakit tersebut adalah V. harveyi, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. anguillarum, V. vulnificus, dan V. splendidus. Beberapa spesies bakteri ini bersifat pathogen dan dapat menimbulkan penyakit epizootic atau serangan penyakit yang sama terhadap banyak hewan dalam waktu yang sama. Sementara spesies lainnya hanya bersifat pathogen oportunis yang menimbulkan penyakit apabila ikan mengalami luka dan stress.
Vibriosis menjadi penyakit yang menyebabkan kematian udang terbanyak. Contohnya, pada tahun 2009 produksi udang nasional turun sekitar 299 ribu ton dibanding produksi tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 400 ribu ton. Selain itu, penyakit ini menyebabkan kerugian besar yaitu mencapai 1 miliar dollar AS setiap tahunnya di seluruh dunia. Serangan vibriosis dapat menimbulkan kematian mencapai 100% pada larva.
Ciri-ciri kehadiran bakteri di tambak atau budidaya udang dapat terdeteksi dengan fenomena air bercahaya atau bioluminescence. Di permukaan air tambak seperti kunang-kunang. Senyawa yang menyerupai kunang-kunang itulah senyawa beracun dari bakteri yang membentuk koloni padat. Dari racun itulah, udang dapat terkena vibriosis.
Racun masuk melalui mulut udang. Kemudian di dalam tubuh akan bereaksi dan membentu plak serta menyebar ke alat gerak. Udang yang mengalami vibriosis akan mengalami gejala klinis yaitu hepatopankreas kecoklatan, terdapat bercak merah-merah pada pleopod (kaki renang), uropod (alat kemudi renang) dan abdominal, insang merah kecoklatan, dan berenang lambat. (SHARON PATRICIA/DEBORA LAKSMI/LITBANG KOMPAS)