Pesan Damai dari Selembar Komik
Clarisa (9) terlihat sangat terlatih menggoreskan pensil di atas kertas putih. Tidak sampai setengah jam, sebuah sketsa komik yang menyentil pemilihan ketua RT selesai ia buat.
Komik itu menggambarkan tiga orang yang mengacungkan tangan. Mereka mengenakan pakaian adat yang berbeda-beda. Dalam dialog yang tertera di atas gambar diketahui, tiga orang itu sedang bertengkar tentang siapa yang paling berhak menjadi ketua RT.
Perempuan di pojok kiri menunjuk orang yang di tengahnya sembari menyatakan bahwa orang itu tidak layak jadi ketua RT. Orang yang di tengah pun mengaku bahwa dirinyalah yang paling berhak, begitu juga dengan orang ketiga yang ada di sisi kanan.
Di kolom selanjutnya, muncul seorang tokoh lain yang melerai pertengkaran itu. Siapa pun yang menjadi ketua RT, tak ada gunanya bertengkar, demikian kata tokoh itu. Komik itu diakhiri dengan adegan berpegangan tangan keempat tokoh-tokoh itu dengan latar rumah-rumah ibadah.
Clarisa dan puluhan anak lainnya sedang mengikuti kegiatan bertajuk ”Menggambar Komik Pancasila dan Kebinekaan untuk Anak dan Remaja” yang diadakan Taman Komik Nusantara, Sabtu (23/3/2019), di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat. Ini merupakan salah satu mata acara dalam Festival Agama untuk Perdamaian yang diadakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Sebelum mengikuti acara, Clarisa berdiskusi dengan mamanya, Yulita Supangat (42), ihwal visual yang cocok untuk komik yang akan ia buat. Berhubung temanya tentang perdamaian, Clarisa terbayang tentang pertikaian pemilihan ketua RT. Ini terinspirasi dari uraian mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah, yang membahas tentang memilih pemimpin.
Clarisa pun mengaku pernah berbeda pendapat dengan temannya di sekolah. Mereka pernah bertikai saat berdiskusi tentang materi pelajaran. Beberapa hari Clarisa dan temannya itu tidak bertegur sapa. ”Beberapa hari aja, terus baikan lagi,” katanya.
Pendiri Taman Komik Nusantara, Endah Priyati, menyatakan, melalui komik, anak-anak diajak memahami secara pelan-pelan makna toleransi dan kebinekaan. Komik menjadi medium yang paling mudah diingat karena dilengkapi dengan visual.
”Ide gambar yang mereka buat sekarang akan masuk ke alam bawah sadar mereka. Ketika dewasa, mereka akan mengingat bahwa suatu masa pernah menggambar soal ini,” kata Priyati, yang juga menjadi guru sejarah di Bekasi, Jawa Barat, ini.
Bagian yang terpenting dalam memahami toleransi, kata Priyati, adalah soal ”mengalami”. Melalui komik, anak-anak terlibat langsung dalam membayangkan ide toleransi lalu menuangkannya dalam bentuk gambar. ”Jadi, tidak cukup dengan doktrin,” katanya.
Secara makro, komik yang dibuat Clarisa sejalan dengan situasi yang akan dihadapi Indonesia pada April mendatang. Rakyat Indonesia akan memilih presiden, wakil presiden, serta anggota Dewan yang akan menjadi wakil mereka di ”Senayan”.
Salah satu pendiri ICRP, Romo Johannes Aariyanto, berpendapat, politik identitas menguat menjelang Pemilu 2019. Gejala ini ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok eksklusif yang rentan berbenturan dengan kelompok lain. Politisasi identitas itu bisa mewujud dalam bentuk agama maupun kesukuan.
”Penguatan politik identitas ini semakin serius karena tidak hanya ada dalam laku sehari-hari, tapi sudah sampai pada level politik,” katanya.
Dalam konteks Pilpres 2019, masyarakat di media sosial terbelah. Kelompok pendukung pasangan calon (paslon) yang satu saling bersitegang urat leher dengan pendukung paslon lain. Menurut Johannes, pertikaian itu acap kali dibumbui dengan unsur agama dan kesukuan.
”Ketika saya menegaskan, ’saya berbeda dengan kamu’, itu bisa menggunakan bahasa agama maupun etnis,” katanya.
Perbedaan itu, kata dia, telah sampai pada tahap menghilangkan akal sehat. Benar atau tidaknya suatu hal ditentukan oleh kepentingan yang menyertainya. Fenomena yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok yang bertikai.
”Misalnya, secara de facto pemerintah sekarang sudah membangun infrastruktur. Namun, ini akan disikapi secara lain oleh kelompok yang akan bertarung di pilpres nanti,” katanya.
Dia melanjutkan, kerukunan di Indonesia, terlebih di masa Orde baru, tidak bersifat organik. ”Kamu rukun, ya, dengan dia. Namun, negara mengatakan itu dalam posisi kaki kita diinjak,” katanya.
Pada tahun 1998, Orde Baru runtuh, ditandai dengan dimulainya era Reformasi. Hal ini memicu kekhawatiran baru karena kerukunan antarwarga negara yang tidak bersifat organik itu.
Oleh sebab itu, pada tahun 2000, ICRP didirikan sebagai wadah untuk membangun sinergi antarpemeluk agama di Indonesia, baik yang diakui pemerintah maupun yang tidak. Tujuannya untuk menegaskan bahwa agama hadir untuk perdamaian.
Belakangan, kata Johannes, simbol-simbol agama menguat di ruang publik. Namun, simbol itu tidak selalu menggambarkan kesalehan. ”Simbol hanya sebagai pembeda. Dalam politik itu dipakai untuk mengumpulkan suara,” katanya. (INSAN ALFAJRI)