Pembangkit listrik tenaga uap masih diandalkan untuk menghasilkan listrik yang andal dan murah. Ketersediaan batubara yang melimpah di dalam negeri dan ongkos produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan sumber-sumber energi lain menjadi alasan pemerintah untuk menghasilkan listrik dengan tarif murah.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), I Made Suprateka, saat berkunjung ke kantor PT Pembangkitan Jawa Bali di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/3/2019), menyatakan, batubara masih jadi pilihan karena biaya produksi listriknya paling murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak, gas, atau sumber energi terbarukan. Dengan tarif yang terjangkau, masyarakat, khususnya berpendapatan rendah ke bawah, bisa meningkatkan konsumsi listrik dan menjadi lebih produktif.
Pemerintah menargetkan konsumsi listrik dari 1.064 kWh per kapita pada tahun lalu menjadi 1.200 per kWh per kapita pada tahun ini.
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Andy Noorsaman Sommeng, tarif listrik jenis rumah tangga di Indonesia lebih murah dari Thailand, Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Meminimalisasi dampak
Namun, sejumlah lembaga dan organisasi lingkungan berharap tidak ada lagi pembangunan PLTU baru. Pengembangan listrik dengan batubara dinilai bertolak belakang dengan Perjanjian Paris. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatanganinya. Indonesia juga terikat kesepakatan internasional untuk menekan emisi karbon dan mengendalikan pemanasan global.
Made menambahkan, umumnya pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara sudah menggunakan teknologi untuk meminimalkan dampak pencemaran lingkungan. Dengan teknologi khusus, seperti ultra-supercritical, gas buang jadi minimal. “Abu yang keluar bahkan tak sampai dua persen karena sebagian besar sudah ditangkap,” ujarnya.
Direktur Operasi I PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Sugiyanto, mencontohkan PLTU Paiton yang beroperasi sejak 1994. “Terumbu karang di area perairan sekitar 500-700 meter dari bibir pantai di dekat PLTU Paiton tumbuh baik. Jika PLTU batubara merusak lingkungan, terumbu itu semestinya rusak, tetapi di sekitar PLTU Paiton justru berkembang jadi destinasi wisata,” ujarnya.
Menurut Sugiyanto, PT PJB Unit Pembangkitan Paiton dua tahun berturut-turut pada 2017 dan 2018 memperoleh Proper Emas, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sejumlah indikator dalam indeks kinerja pembangkit listrik, termasuk emisi gas buang, jauh lebih rendah dari baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
General Manager PT PJB Unit Pembangkitan (UP) Paiton, Mustofa Abdillah di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (22/3) menambahkan, pihaknya melakukan sejumlah inovasi terkait pengelolaan lingkungan. PT PJB UP Paiton antara lain mengecek kualitas limbah dan air laut di sekitar pembangkit, mengendalikan pencemaran udara dengan mengukur kualitas udara terkini, serta mengelola limbah berbahaya dan beracun. (MKN)