JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebaiknya merevisi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi lantaran pelaksanaannya sulit diwujudkan. Sampai sekarang, tak semua sektor yang dijanjikan pemerintah mendapat insentif penurunan harga gas. Sektor tersebut adalah industri kaca, keramik, oleokimia, dan sarung tangan karet.
Perpres No 40/2016 tersebut diundangkan sejak 3 Mei 2016, tetapi berlaku surut sejak 1 Januari 2016. Artinya, sudah tiga tahun kebijakan penurunan harga untuk sejumlah sektor industri di dalam negeri tak bisa terlaksana. Beberapa sektor industri yang sudah menikmati penurunan harga gas adalah industri baja, pupuk, dan petrokimia.
Perlu revisi perpres penurunan harga gas karena pelaksanaannya sulit diwujudkan. Revisi difokuskan pada target besaran penurunan harga, yaitu perlu dibuat yang lebih rasional dalam konteks bisnis,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Jumat (22/3/2019), di Jakarta.
Menurut Komaidi, perlu kajian akademis sebagai rujukan perpres tentang penurunan harga. Pasalnya, harga gas sebesar 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU) sulit diimplementasikan. Di sejumlah lokasi sumber gas di Indonesia, harga gas di kepala sumur gas sudah di atas 6 dollar AS per MMBTU.
Dalam Perpres No 40/2016, tata cara dan penetapan harga gas bumi ditetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penetapan harga gas mempertimbangkan keekonomian lapangan, harga gas di dalam negeri dan internasional, daya beli konsumen, serta nilai tambah pemanfaatan gas di dalam negeri. Perpres juga menyebutkan, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, dampak kebijakan penurunan harga gas yang tak bisa diwujudkan pemerintah menyebabkan industri pengguna gas di dalam negeri terhambat. Hambatan itu, kata dia, menimbulkan beban bagi industri mulai dari penyusunan anggaran sampai produksi.
”Jangan sampai industri pengguna gas mati lantaran tak mendapat insentif penurunan harga gas. Ujung-ujungnya, impor akan menjadi pilihan lantaran industri sejenis di dalam negeri kalah bersaing,” ujar Achmad.
Harapan harga gas bagi industri di dalam negeri yang kian terjangkau terus menguat seiring penyelesaian akuisisi 51 persen saham PT Pertamina Gas, cucu usaha PT Pertamina (Persero), oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk pada akhir 2018.
Akuisisi senilai Rp 20,1 triliun itu diharapkan mengefisienkan rantai hilir gas di Indonesia. Akuisisi itu menyertakan empat anak usaha Pertamina Gas, yaitu PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta-Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyebutkan, harga gas bumi di Indonesia yang tinggi turut dipengaruhi infrastruktur gas yang belum memadai. Hal itu berdampak terhadap pembengkakan biaya angkut gas. Infrastruktur gas tersebut adalah jaringan pipa gas dan fasilitas regasifikasi.
Ada tiga proyek besar untuk gas bumi di Indonesia, yaitu Lapangan Jangkrik di laut lepas di Kalimantan Timur, Lapangan Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan Lapangan Abadi, Blok Masela, di Maluku. Lapangan Jangkrik sudah mengalirkan gas mulai Mei 2017 sebanyak 682 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan gas dari Lapangan JTB dijadwalkan mulai pada triwulan II-2021.
Sementara, proyek Lapangan Abadi belum ada titik terang kapan proyek tersebut bakal dimulai. Lapangan Abadi, dengan operator Inpex (Jepang) dan Shell (Belanda), masih dalam tahap kajian front end engineering design (FEED). Kajian itu meliputi, antara lain, teknis pengembangan gas dan investasi yang dikeluarkan.