”Waaaaah…. Whooooii….” Teriakan lega penumpang di satu kereta moda raya terpadu (MRT) Ratangga serentak terdengar, Selasa (19/3/2019). Saat itu kereta baru keluar dari terowongan selepas Stasiun Senayan dan kembali ke ”atas bumi” menuju Stasiun Sisingamangaraja. Sejak stasiun Bundaran Hotel Indonesia hingga Senayan itu, MRT memang menjadi gangsir di terowongan bawah tanah.
Sebelum peresmiannya hari Minggu (24/3) ini, PT MRT Jakarta sejak 12 Maret memberi kesempatan gratis kepada warga Ibu Kota untuk mencoba moda transportasi massal terbaru itu. Warga Jakarta pun ibarat mempunyai mainan baru. Berbondong-bondong orang dari berbagai kalangan mencobanya.
Di Stasiun Dukuh Atas, pada jadwal pukul 12.00 siang itu, misalnya, antrean orang dari sebuah gate mencapai 50 meter lebih memasuki stasiun. Bukan melulu remaja, pegawai kantoran berblaster rapi hingga kakek-kakek pensiunan pun ikut mencobanya. Tidak lupa di antara mereka berpamer foto atau video di sosial media dengan berbagai gaya. Kalau kata orang Betawi, warga yang mencoba MRT itu ibarat ”orang udik” yang baru pertama kali mencoba hal baru.
Sebuah foto memperlihatkan rombongan penumpang yang lesehan di peron sambil makan. Mirip suasana piknik di stasiun MRT.
Euforia mencoba MRT itu sangat terasa. Menurut seorang petugas, dari Dukuh Atas saja rata-rata pada hari kerja sebanyak 2.000 orang mencoba ”mainan baru” itu. ”Kalau hari Sabtu atau Minggu malah ada sekitar 4.000 orang lebih,” katanya. Mereka yang mencoba bukan melulu warga Jakarta, tetapi juga dari Bekasi, Tangerang, hingga Depok dan Bogor.
Kehebohan siang itu terlebih-lebih karena ternyata di salah satu kereta ada Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri dan kepala daerah Jabodetabek. Selain berulang kali meninjau proses pembangunannya, Kamis (21/3), Jokowi juga kembali naik MRT.
Seperti juga masyarakat, Jokowi pantas berbangga dengan mulai beroperasinya MRT Jakarta itu. Dialah yang memulai pembangunannya–ground breaking—tepatnya Oktober 2013 atau setahun setelah mantan Wali Kota Solo itu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
”Mimpi” Jakarta untuk memiliki MRT adalah perjalanan panjang yang melibatkan sejumlah pihak. Berbagai studi dan rintisan MRT dimulai sejak tahun 1981. Saat itu, JICA telah membuat studi ”Jakarta Metropolitan Area Transportation” dan sejumlah studi lainnya. Perda pembentukan PT MRT baru ditetapkan 27 tahun kemudian, tepatnya 17 Juni 2008.
Butuh kemauan politik untuk membuat MRT tidak lagi mimpi abadi. Sejarah akhirnya tiba. MRT mulai melata di Ibu Kota. Tahap pertama sepanjang 16 kilometer (Bundaran HI-Lebak Bulus) dengan target 13.000 penumpang per hari. Namun, MRT tidak otomatis mengurangi pengguna angkutan pribadi dan mengatasi kemacetan Jakarta.
Bukan hanya karena orang kita masih suka pamer mobil sebagai simbol status sosial, tetapi masih banyak pekerjaan rumah lainnya. Sistem angkutan terpadu yang terintegrasi, car pool, ”memaksa” pengguna kendaraan pribadi pindah ke angkutan umum beberapa di antaranya. Bukan hal mudah. Lha, bahas berapa tiket MRT pasnya dan berapa subsidinya saja enggak beres-beres.