Festival Makna
Ekshibisi desain terkemuka di Asia, Singapore Design Week, tak hanya menyuguhkan produk yang mengagumkan. Para desainer kawakan juga menjiwai kreasi mereka dengan makna humanisme. Festival yang diselenggarakan 4-17 Maret 2019 itu lebih dari memamerkan desain.
Beberapa pengunjung terkagum-kagum memandangi meja pingpong. Di atas meja itu ada bet pingpong, bola, bahkan netnya. Bukan sembarang peralatan olahraga, meja itu modis dengan motif serupa kayu, lengkap dengan kilap pelitur.
Meja pingpong di tengah pameran International Furniture Fair Singapore (IFFS), Sabtu (9/3/2019), itu jelas termasuk produk yang paling menarik perhatian. Pameran ini, yang termasuk dalam rangkaian Singapore Design Week (SDW), diikuti oleh 204 perusahaan.
District Eight, yang menghasilkan meja pingpong tersebut, membuat produknya dari kayu ek yang mentereng. Net pingpong tampak trendi dengan bahan kulit berwarna coklat. Sementara penahan untuk membentangkan net itu terbuat dari kuningan.
Meja pingpong itu dimaksudkan sebagai mebel kantor. Firma desain furniture yang berbasis di Ho Chi Minh, Vietnam, membuatnya sebagai produk serbaguna yang bisa berfungsi untuk meja rapat, bahkan untuk bersantap. Tak sekadar didesain secara fungsional, semangat menjaga kesehatan juga diusung dengan sangat gamblang.
Para pekerja diingatkan untuk tak melulu mendekam di kursi, tetapi juga menggerakkan badan. Saat senggang, para pekerja yang berkumpul dan melihat meja itu tak pelak akan tergugah untuk berolahraga. Ukuran produk itu tak jauh berbeda dengan meja pingpong biasa.
Meja pingpong buatan District Eight setinggi 75 sentimeter (cm) dengan panjang 274 cm dan lebar 178 cm. District Eight juga memproduksi football table atau meja untuk bermain sepak bola yang digunakan dengan tangan. Tentu perusahaan ini juga memproduksi meja, kursi, dan sofa biasa.
Dinding hijau
Di sisi lain IFFS, dinding hijau sungguh menyejukkan mata. Beberapa pengunjung tak kalah tercengang saat mengamati dinding yang ternyata dibuat dari lumut rimbun. Di stan Mosscape itu, mereka seakan dibawa ke hutan. Lumut tersebut bahkan bisa ditata menyerupai semacam rak.
”Lumut bisa bertahan hingga dua tahun. Tak perlu perawatan dan sinar matahari,” kata Christian M Angga, Product Development Manager Mosscape. Interior itu sudah dipakai, antara lain, di Singapura, Malaysia, dan China. Dinding lumut itu menghiasi kantor, hotel, ruang pamer mobil, dan bank.
Produk yang dapat dipadukan dengan kayu dan batu itu juga sudah memperindah rumah-rumah. Lumut yang digunakan, antara lain pole, flat, dan reindeer. Mosscape kerap bekerja sama dengan perusahaan arsitektur untuk membuat ruangan kian sedap dipandang mata.
Biaya untuk membuat interior itu bervariasi bergantung pada desain, jenis, dan kuantitas lumutnya. Sebagai contoh, sebuah kantor di Singapura mengorder Mosscape untuk memasang dekorasi itu sebagai taman dengan luas sekitar 60 meter persegi. Pemasangan itu dikerjakan selama seminggu.
”Kalau tak salah, biayanya 70.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 700 juta. Tetapi, ada beberapa area yang lebih kecil di kantor itu juga dipasangi produk kami,” ujar Christian.
Tak hanya mempercantik bangunan, Mosscape yang berkantor di Singapura itu juga berpikir lebih jauh mengenai kebaikan alam dengan mengusung spirit go green atau penghijauan. Selain lumut, Mosscape juga menggunakan tanaman hias, pepohonan, dan bunga.
Spirit itu diwujudkan Mosscape dengan menyebut konsepnya ”hortitainment” atau hortikultura dan entertainment (hiburan). Mosscape juga bekerja sama dengan para petani dan menyediakan ruangan agar konsumen bisa mempelajari terarium hingga membahas kesehatan dengan para ahli.
Sementara itu, Chen Zhao, Research Director Discovery, Adventure, Momentum, and Outlook (DAMO) Academy, memaparkan tekadnya untuk mendesain ponsel yang bisa digunakan para tunanetra. Perangkat lunak yang disebut smart touch (sentuhan pintar) itu digarap sejak dua tahun lalu.
Lapisan layar ponsel itu terbuat dari plastik berbiaya rendah yang digerakkan interaksi manusia dan komputer. Ponsel itu dirancang dengan tomboltombol braille pada kedua sisinya. Setiap sisi memiliki tiga tombol. Jika tombol itu ditekan, ponsel akan menyampaikan informasi kepada penggunanya.
Di hadapan para undangan gelar wicara Fortune Wallpaper Brainstorm Design sebagai bagian dari SDW, Kamis (7/3), Zhao memperagakan keunggulan smart touch. Zhao memencet tombol-tombol dan suara robotik keluar dari ponsel yang dipegangnya.
Fungsi tombol-tombol itu, seperti menu utama, stop mengakses, laman internet sebelumnya, dan posisi terkini. Manfaat penting desain itu, misalnya, mengetahui lokasi tunanetra dengan program peta. Para tunanetra pun bisa memesan taksi dengan smart touch.
Ponsel itu sudah diuji coba oleh sedikitnya 300 manula dan pelajar tunanetra di beberapa provinsi di China pada pertengahan Maret 2019. Ke depan, Zhao juga ingin para tunanetra bisa memesan makanan dan berbelanja dengan smart touch.
Sebagai divisi penelitian perusahaan multinasional Alibaba Group, DAMO Academy telah menggeser paradigmanya. Tak sekadar menghasilkan desain produk mutakhir dan berorientasi profit, DAMO Academy juga berupaya memudahkan para penyandang disabilitas.
Keesokan harinya, ingar bingar musik bergema di Jalan Bukit Pasoh. Festival Street of Clans yang diselenggarakan empat marga Kanton di Singapura, yaitu Chin Kang Huay Kuan, Gan, Koh, dan Tung On Wui Kun, ini turut meramaikan SDW.
”Sudah seperti melting pot (kuali peleburan) untuk marga-marga yang terlibat,” kata pemandu Street of Clans, Rachel Ong, tentang festival itu, Jumat (8/3). Warga yang sehari-hari sangat sibuk bertemu untuk menyiapkan festival tersebut selama empat bulan sebelumnya.
Di jalan itu, mereka makan, mengobrol, bahkan bermain bulu tangkis. Lukisan yang dipajang, pertunjukan musik, dan lokakarya memeriahkan festival tersebut. ”Maknanya, marga-marga itu jadi saling mengenal. Mereka seperti menelusuri kembali marganya masing-masing,” ucap Rachel.
Menurut Mark Wee, Direktur Eksekutif Design Singapure Council yang mengadakan SDW, festival yang sudah digelar enam kali itu menampilkan berbagai kolaborasi kalangan industri dan seniman internasional. Festival tahunan itu mengeksplorasi kompleksitas hubungan desain dengan dampak dan evolusinya.
Pendiri Studio ArsitektropiS Ren Katili yang mengunjungi SDW pada 6-9 Maret 2019 mengatakan, para desainer Indonesia bisa memetik pelajaran dari festival itu. ”Sejumlah desainer Indonesia mengikuti SDW. Mereka punya jaringan yang amat baik dengan para desainer luar negeri,” ujarnya.