Penggunaan air tanah di Jakarta melebihi ambang batas. Namun, air perpipaan belum mampu menjangkau semua warga. Menghemat air menjadi siasat mengatasi keterbatasan air bersih.
Hari Air sedunia ke-27 diperingati 22 Maret lalu. Peringatan tahun ini mengusung tema tema ”Leaving No One Behind” atau diadopsi dalam tema Indonesia ”Semua Harus Mendapatkan Akses Air”. Tema itu dilatarbelakangi sejumlah fakta, seperti 2,1 miliar orang di dunia hidup tanpa adanya air layak konsumsi di rumah. Sanitasi buruk juga menyebabkan lebih dari 700 anak balita meninggal tiap hari akibat diare.
Becermin dari fakta itu, masalah akses air bersih juga dirasakan di Indonesia, tidak terkecuali Jakarta dan sekitarnya. Kebutuhan air bersih warga Jakarta sekitar 824,78 juta meter kubik per tahun. Sementara kemampuan PAM Jaya hanya bisa menyediakan 560,649 juta meter kubik setahun. Defisit kebutuhan air baku tersebut membuat warga Jakarta mencari sumber air dari air tanah.
Memanfaatkan air tanah
Air tanah masih menjadi andalan 64 persen warga untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Hal tersebut tecermin dari hasil polling Kompas pada Februari lalu. Hanya sekitar 35 persen yang menggunakan air PAM dan sebagian kecil warga menggunakan air galon.
Sejumlah faktor menyebabkan penggunaan air tanah tetap marak di Ibu Kota. Salah satunya, rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh air tanah. Separuh lebih responden mengaku hanya menghabiskan Rp 50.000 hingga 200.000 setiap bulan untuk air. Bahkan, 21,5 persen responden menyebutkan tidak pernah mengeluarkan biaya untuk mengakses air tanah.
Selain itu, pasokan air tanah dinilai masih melimpah. Seperti yang disebutkan tiga perempat responden lebih yang menyebutkan selalu lancar dalam mendapatkan air tanah.
Sebaliknya, belum semua warga menikmati sistem air perpipaan. Hingga 2018, Palyja yang beroperasi di wilayah barat Jakarta baru melayani 2,7 juta orang atau 60,27 persen warga. Adapun Aetra melayani 2,9 juta orang di sisi timur Jakarta atau dengan cakupan wilayah 60,38 persen warga.
Di sisi lain, kualitas air tanah di Jakarta dalam kondisi tidak baik. Hasil penelitian Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Kementerian ESDM (2015) menyebutkan, 80 persen dari 37 sumur yang diteliti di wilayah utara cekungan air tanah tidak memenuhi standar baku mutu. Sebanyak 67,6 persen air tanah di akuifer bebas itu dipengaruhi air asin laut dan antropogenik.
Penelitian Badan Geologi (2016) juga menemukan logam berat (Pb) yang melebihi baku mutu di 30 persen dari semua wilayah pemantauan. Kadar timbal mencapai 0,09 miligram per liter ditemukan di selatan-barat CAT Jakarta yang meliputi Jakarta Barat, Depok, Bogor, dan Tangerang Selatan. Sementara di wilayah utara CAT Jakarta mencapai 1,09 miligram per liter.
Selain pencemaran dan intrusi air laut, penyedotan air tanah yang berlebihan juga menciptakan ruang kosong di bawah tanah dan perlahan-lahan menyebabkan amblesan. Menurut data Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), dari tahun 1974 hingga 2010, sejumlah wilayah di DKI Jakarta mengalami penurunan tanah antara 25 cm dan 400 cm.
Kiat berhemat
Pemerintah telah membuat sejumlah kebijakan untuk mencegah dampak lebih buruk. Salah satunya melalui perluasan akses air bersih sistem air perpipaan di rumah susun. Ada delapan rusun yang masuk program itu, di antaranya Rusun Kapuk Muara, Rawa Buaya, Polri Pesing, Pengadegan, Penggilingan, dan BLK Pasar Rebo.
Sementara itu, upaya pembatasan pemanfaatan air tanah sudah diupayakan Pemprov DKI Jakarta sejak lama. Dimulai tahun 1998, muncul perda DKI mengenai pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Terakhir, diterbitkan Pergub DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah.
Namun, nyatanya sumur ilegal masih marak ditemukan di Ibu Kota. Tahun 2017, KPK menduga sekitar 15.000 sumur ilegal ada di gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Potensi pendapatan dari pajak penggunaan air tanah ini mencapai Rp 2,7 triliun per tahun.
Upaya pelestarian air bersih juga ditanggapi masyarakat dengan berbagai cara. Sebanyak 65 persen membuka dan menutup keran air ketika tidak digunakan. Tetesan air keran selama setahun setara dengan 20.000 liter air.
Sementara 13,1 persen responden membiasakan diri menghemat air ketika menyiram tanaman, memanfaatkan air bekas pakai (11,3 persen), dan menampung air (5,6 persen).
Potensi dampak buruk kesehatan dan lingkungan ada di depan mata. Khawatir sudah pasti, tetapi itu saja tidak cukup. Bijak menggunakan air sudah harus dilakukan agar setiap warga dengan mudah bisa mendapatkan akses air.