Mengalun Bersama Gretchen
Musik jazz terus melahirkan musisi-musisi baru penuh bakat. Namun, energi kreatif yang menghidupi jazz itu juga diusung Gretchen Parlato (43), salah satu vokalis jazz yang terbilang langka.
Gretchen tampil di panggung perhelatan Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2019 pada awal Maret lalu. Dia tampil dua kali di akhir pekan di hal pertunjukan yang selalu penuh sesak. Penonton menyimak takzim, tak beranjak dari tempat duduk mereka sejak lagu pertama hingga lagu terakhir.
Apalagi, saat lagu ”Butterfly” dilantunkan. Penonton terpukau dengan kemampuan Gretchen berolah vokal. Ia memberikan interpretasi baru pada lagu milik dedengkot jazz, Herbie Hancock. ”Butterfly” ada di album Herbie berjudul Thrust yang dirilis tahun 1974.
Versi awal ”Butterfly” hadir dalam dominasi kelindan permainan piano dan flute. Versi Gretchen tersaji dengan dominasi olah vokal yang tak sekadar menyuguhkan lirik-lirik indah, tetapi juga menjadi instrumen yang sama kuatnya dengan instrumen yang mengiringi lagu tersebut, yaitu piano, bas, dan drum.
Dengan corak vokalnya yang sedikit bernuansa sengau, Gretchen leluasa bertualang dari satu nada ke nada lainnya, menyuguhkan permainan olah vokal yang tak sekadar eksploratif, namun juga penuh detail. ”Butterfly” pun terlahir menjadi sebuah lagu dengan nyawa baru. Bukan semata lagu yang dinyanyikan ulang secara mentah.
Kemampuan olah vokal itu juga tersimak di lagu-lagu lain, seperti ”How We Love”, ”In A Dream”, ”Weak”, hingga ”I Can’t Help It”. Tentu juga pada lagu milik penyanyi eksentrik asal Eslandia, Bjork, ”Come To Me” yang sangat ikonik.
Bersama band yang terdiri dari Taylor Eigsti (piano), Alan Hampton (bas), dan Kendrick Scott (drum), Gretchen seperti menemukan ”perkawinan” yang pas. Di panggung, mereka tampak amat solid, saling dukung, tetapi tetap menjadi individu-individu berkarakter kuat.
Sajian mereka salah satunya dapat disimak di album Gretchen Parlato Live in NYC yang menyabet nominasi Grammy untuk Best Jazz Vocal Album tahun 2015.
”Banyak sekali yang sudah terjadi dengan musikku. Hal yang sangat indah adalah orang mungkin menyukai apa yang aku lakukan, tetapi mereka juga mencintai apa yang dilakukan para musisi yang ada di band dan sangat peduli dengan apa yang mereka tawarkan,” tutur Gretchen dalam wawancara menjelang penampilannya di panggung Java Jazz Festival 2019, Sabtu (2/3/2019).
Dikelilingi jazz
Sejak belia, Gretchen memang selalu dikelilingi oleh musik jazz. Kakek neneknya, terutama neneknya, tak pernah alpa mendengarkan lagu-lagu milik ratu jazz Ella Fitzgerald. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Ayahnya, Dave Parlato, adalah pemain bas yang bermain bersama Frank Zappa.
”Aku lahir dari keluarga yang sangat musikal. Keluargaku, kakek nenekku, semuanya musisi. Ada juga yang bergerak pada visual art, bekerja di dunia hiburan. Jadi sejak kecil, seni sudah menjadi hal sangat normal bagiku,” kata Gretchen.
”Dan aku memiliki pengalaman sejak dini bahwa passion adalah sesuatu yang berharga untuk dilakukan dan diperjuangkan.”
Dalam perjalanan kariernya, hal itu menjadi sangat penting. Sebagai penyanyi yang juga pengajar, Gretchen kerap menyaksikan bagaimana anak-anak didiknya harus berjuang keras membuktikan diri kepada orangtua mereka ketika memilih jalan menjadi musisi.
”Mereka kerap harus berbenturan dengan keluarga dan orangtua. Bagi mereka, musisi bukanlah pekerjaan. Mereka harus mencari pekerjaan lain yang lebih bisa dipertanggungjawabkan,” kata Gretchen.
Tak heran, dia amat mensyukuri karena lahir di tengah keluarga yang memberinya keleluasaan untuk meraih apa yang menjadi impian dan cita-citanya. Dengan darah seni yang mengalir deras di tubuhnya itu, Gretchen pun leluasa menjadi versi dirinya yang paling otentik, seorang vokalis jazz.
Gretchen memilih jazz karena jazz menjadi musik paling akrab dengannya. Jazz adalah musik yang membesarkan Gretchen. ”Sudah sejak lama aku mengenal bunyi-bunyian itu. Lalu aku coba untuk terus menggali lebih dalam lagi, bahkan di usia yang masih remaja,” kata Gretchen, yang kini tengah mempersiapkan album baru untuk proyek musik brasilia.
Musik brasilia seperti bazanova, yakni salah satu aliran musik yang sangat memengaruhi Gretchen. Ia jatuh cinta dengan gaya vokal bazanova yang sederhana, namun menyuguhkan banyak detail, termasuk keintiman. Karakter itulah yang kemudian membawanya pada eksplorasi vokal secara terus-menerus.
Eksplorasi Gretchen dalam berolah vokal itu mengantarnya meraih predikat-predikat penting. Tahun 2003, Gretchen menjadi juara pertama Thelonious Monk International Jazz Vocals Competition di Kennedy Center, Washington DC. Juri kompetisi saat itu terdiri dari Quincy Jones, Flora Purim, Al Jarreau, Kurt Elling, Dee Dee Bridgewater, dan Jimmy Scott.
Gretchen lantas merilis album perdananya empat tahun kemudian, bertajuk ”Gretchen Parlato”.
Beberapa penghargaan pun lantas disabet Gretchen, antara lain Best Vocal Album dari NPR Music Jazz Critics Poll (2011), Best Female Vocalist dari Jazz Times Expanded Critics Poll (2011), ASCAP Award of Merit for Songwriting (2011), Best Female Vocalist Award dari Jazz Journalists Association (2012), dan tentu saja, nominasi Grammy Award untuk Best Jazz Vocal Album, Live in NYC (2015).
Dia juga menjadi salah satu vokalis jazz yang paling banyak diperbincangkan dan dipuji oleh kalangan jazz. Toh, Gretchen tetaplah Gretchen yang begitu mencintai jazz. Hingga saat ini, Gretchen tak pernah berhenti percaya bahwa selalu ada masa depan untuk jazz. Berada dalam skema musik jazz, memberinya optimisme.
”Saat kamu berada di dalamnya, kamu akan menyadari bahwa selalu ada scene, selalu ada komunitas, selalu ada evolusi, dan selalu ada ruang untuk para musisi tradisional maupun untuk para pembaru. Jadi selalu ada pendengar untuk semuanya. Begitu juga dengan para musisi yang ada di dalamnya, mereka juga sudah melakukan banyak hal yang menurutku sangat menghidupi jazz,” kata Gretchen.
Akan selalu ada orang-orang yang mencintai dan menghidupi jazz. Salah satunya, Gretchen Parlato.
(Dwi As Setianingsih)