Setelah dibatalkan dan berkali-kali tertunda sejak 2011, akhirnya Thailand menggelar pemilu. Hampir 50 juta warga Thailand dijadwalkan menggunakan hak pilih pada Minggu (24/3/2019).
Sebelum hari ini, hampir 2 juta pemilih Thailand memberi suara lewat pemungutan suara pendahuluan. Mereka yang berada di luar negeri atau harus bertugas pada hari pemungutan suara utama dapat menggunakan hak pilih di pemungutan suara pendahuluan yang berlangsung sejak 4 Maret. Untuk bisa memberi suara, warga Thailand harus berusia minimal 17 tahun per 24 Maret. Pada pemilu kali ini, ada 7 juta pemilih pemilih mula.
Thaksin
Pemilu Thailand digelar terakhir kali pada 2011. Pemenangnya adalah Pheu Thai, partai yang disokong loyalis Thaksin Shinawatra. Mantan Perdana Menteri Thailand itu hidup di luar negeri dan ditetapkan sebagai buronan setelah dikudeta dan partainya, Thai Rak Thai, dibubarkan pada 2006.
Adik Thaksin, Yingluck Shinawatra, menjadi PM dari hasil pemilu 2011. Februari 2014, pemerintahan Yingluck menggelar pemilu dan penghitungan suara menunjukkan Pheu Thai unggul. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan pemilu 2014. Mei 2014, militer yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-Ocha melancarkan kudeta dan berkuasa sampai sekarang. Yingluck mengulang kisah kakaknya.
Saingan Prayuth antara lain Sudarat Keyuraphan, mantan Wakil Ketua Umum Thai Rak Thai. Kini, Sudarat memimpin Pheu Thai menantang junta. Modal utama Pheu Thai adalah pengaruh Thaksin yang masih kuat. Kemenangan Pheu Thai pada pemilu 2011 dan 2014 adalah buktinya.
Diuntungkan
Pemilu 2019 diikuti 44 partai. Mereka mengusung 2.810 caleg yang akan memperebutkan 500 kursi DPR.
Parlemen Thailand sebenarnya punya 750 kursi yang terbagi atas 250 kursi senat dan 500 kursi DPR. Setelah kudeta 2014, semua kursi senat diisi orang-orang yang ditunjuk junta. Sebelumnya, sebagian besar senator adalah hasil pemilu. Junta pun mengubah cara penunjukan senator dan melibatkan senat dalam pemilihan PM. Sebelumnya, hanya anggota DPR berhak memilih PM. Kini, semua anggota parlemen berhak memilih PM. Untuk terpilih menjadi PM, calon harus didukung sedikitnya oleh 376 anggota parlemen.
Jika ingin Prayuth terpilih menjadi PM, partai pendukung junta hanya memerlukan tambahan 126 kursi, sementara oposisi minimal harus mendapat 376 kursi. Calon PM bisa diajukan partai atau gabungan partai pemilik sedikitnya 25 kursi di DPR. Setelah pencalonan disetujui, kandidat harus mencari tambahan hingga 351 anggota parlemen untuk menggenapi dukungan minimal 376 kursi.
Di DPR, junta juga mengubah cara pemilihan. Komisi Pemilihan Umum Thailand membagi kursi itu menjadi sistem proporsional terbuka dan tertutup. Dari 500 kursi, 350 diperebutkan secara langsung oleh caleg di dapil. Sisanya diperebutkan lewat sistem proporsional tertutup, partai yang akan menentukan siapa caleg terpilih dari suatu dapil.
Untuk menghitung kursi partai, pertama-tama dijumlah dulu total suara sah secara nasional dan partai. Suara sah partai dibandingkan dengan total suara sah nasional untuk menentukan persentase perolehan suara. Jika partai A memperoleh 10 persen suara sah secara nasional, total kursi yang didapatnya dari alokasi partai tidak boleh lebih dari 15.
Penentuan jumlah suara setiap kursi mirip sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) yang dikenal di Indonesia. Bedanya, Thailand membagi semua kursi DPR dengan total suara nasional. Di Indonesia, nilai kursi ditentukan di setiap dapil. Setelah BPP diketahui, suara sah partai dibagi dengan BPP untuk mengetahui jumlah kursi yang didapat dari sistem alokasi partai.
Ada peluang suara hilang dengan sistem baru. Jika total suara sah partai hanya setara 10 persen suara sah nasional, total perolehan kursi dari sistem alokasi partai maksimal 10 persen dari 150 kursi. Sisa suara setelah partai mendapat batas maksimal itu tak akan dihitung, tidak juga dialokasikan untuk partai lain. Meski rumit, partai-partai tetap berusaha keras mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Mereka ingin dapat kursi di Dusit, kawasan tempat bangunan parlemen Thailand berdiri. (AFP/REUTERS)