Seken Bisa Keren!
Mengenakan barang seken tak lagi indikasi gaya hidup warga kelas dua. Barang seken justru melangkah setahap lebih maju sebagai alat perlawanan. Tak sedikit pencinta mode secara sadar berbusana seken demi perlawanan terhadap pencemaran lingkungan, mode yang terlalu cepat berganti alias ”fast fashion”. Ada juga alasan lain: tetap tampil keren dengan harga lebih murah.
Di Indonesia belum ada data pasti terkait dampak rakusnya konsumsi produk mode. Namun, kita bisa berkaca dari laporan The Guardian yang menulis masa hidup rata-rata untuk garmen di Inggris hanya 2,2 tahun.
Diperkirakan, lebih dari 30 miliar pakaian tak terpakai tergantung di lemari, sementara pemiliknya terus membeli lebih banyak lagi. Di Inggris, pakaian menyumbang dampak lingkungan terbesar ke-4 setelah perumahan, transportasi, dan makanan.
Secercah harapan di Indonesia hadir dari munculnya pencinta produk mode bekas atau barang seken dari masyarakat umum hingga publik figur seperti penyanyi Andien Aisyah. Andien bahkan memberi predikat keren pada barang seken yang dikoleksinya. Koleksi barang seken itu ada yang dari tahun 1980-an, 1970-an, bahkan 1920-an.
”Itu topi bridal tahun 1920-an. Aku dapat di Jepang. Rata-rata barang tua seperti itu dapatnya di luar negeri. Pernah dapat tas Furla atau Chanel model lama banget,” ujar Andien, yang juga mengelola @salurindonesia yang menjual barang seken untuk donasi.
Suatu saat, ketika hadir di sebuah acara penghargaan di televisi, dia mengenakan rok dan tas seken yang dibeli di Pasar Baru. ”Ivan Gunawan lihat dan komentar, ’Tas lu keren banget’. Tahu enggak harganya berapa, Rp 15.000. Roknya Rp 30.000. Tapi semua orang bilang keren, ha-ha-ha,” ujarnya.
Sebuah kebanggaan tersendiri ketika memakai barang seharga Rp 10.000 atau Rp 10 juta terlihat sama kerennya di mata orang lain.
Pasar Baru menjadi lokasi favorit untuk berburu barang seken bagi Andien yang menyukai barang seken sejak kuliah pada 2005. Ketika itu, harganya bisa hanya Rp 5.000 per potong. Kegemaran itu berlanjut hingga sekarang. Ketika pergi ke suatu tempat, dia biasa mencari informasi tentang pasar barang seken dan menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Kini, dia tambah gembira karena suaminya juga menggemari barang bekas.
Bikin ketagihan
Tak risih memakai barang bekas juga dialami Fitria Ratu (22). Mahasiswi di Jakarta ini memiliki kebutuhan konsumsi busana sangat besar, terutama untuk pergi ke kampus. Sebelum terpikat lalu ketagihan mengonsumsi busana seken, Ratu sering kali membeli pakaian dan hanya memakainya satu atau dua kali sebelum melupakannya.
Pakaian tak terpakai itu pun bertumpuk di lemari. Jika tumpukan baju tak terpakai sudah mencapai 20 buah, Ratu mengirimkannya ke @salurindonesia. Dari awalnya menyumbang, ia lalu sadar bahwa pakaian yang disumbangkan dan selanjutnya dijual secara daring di @salurindonesia ternyata sangat terkontrol kualitasnya.
Sejak itu, Ratu pun mulai tertarik berbelanja pakaian seken secara daring. ”Seru juga. Tiap hari, mikir mau baju apa lagi ya. Ketagihan. Ternyata seru banget. Apalagi aku bosanan kalau soal pakaian,” kata Ratu.
Membeli baju seken akhirnya menjadi bagian dari gaya hidup. Sebelum memutuskan belanja pakaian baru ke mal atau toko daring, ia mengecek stok barang di @salurindonesia terlebih dulu. ”Mereka berhati-hati dalam kontrol kualitas jadi nyaman belanja di situ. Pasti kualitas baik, layak pakai, dan dapat laporan donasi. Malah bangga makainya, enggak malu. Kadang malah nemu baju vintage,” tambahnya.
Dari awalnya risih, Yanti (46) juga belakangan ketagihan berbelanja barang seken, khususnya tas bermerek. Kecintaan pada barang branded seken dimulai ketika ia datang ke Irresistable Bazaar. Di bazar barang seken bermerek ini, Yanti menjual tas yang baru saja dibelinya seharga Rp 34 juta. Tas baru itu tak pernah dipakai karena ternyata terlalu berat untuk ditenteng ke mana-mana.
”Baru beli tas nitip ama teman. Tasnya ternyata berat banget. Teronggok saja di rumah. Harganya lumayan. Mau diapain ini tas. Saya jual dong daripada enggak ada gunanya,” ujar Yanti, yang kemudian tertular membeli hingga enam buah tas seken bermerek.
Yanti berusaha menularkan kecintaan menggunakan tas seken itu ke rekan-rekan dekatnya. Jika sudah dipakai, tak akan ada orang yang bisa membedakan bahwa tas yang dipakai sesungguhnya barang bekas. ”Kok ada ternyata yang jual barang (bekas) bermerek yang masih bagus. Kondisi masih bagus, ngapain beli yang baru. Harga barang baru lebih mahal, kualitas sama saja,” katanya.
Empat sahabat, Sylvia Pandansari (29), Betari Kiranasari (27), Diah Palupi Mahanani (37), dan Eryta Ayu Putri (27), juga sejak lama menggemari barang seken. Pandansari dan Betari senang berburu barang seken sejak kuliah. Ketika itu, alasannya lebih soal harga yang murah. ”Dulu motivasinya karena keterbatasan ekonomi,” tutur Betari yang sering cari barang bekas di Pasar Baru, Pasar Senen, atau secara daring.
Betari suka barang yang unik dan bergaya sehingga jarang ada kembarannya. Sering kali dia dapat barang bermerek dengan harga miring. ”Di Pasar Baru, biasanya si abang-abang yang jual sudah paham. Mereka memisahkan barang yang bermerek dengan yang tidak bermerek. Harganya sekitar Rp 100.000-Rp 200.000, masih tetap lebih rendah dibandingkan di toko,” ujarnya.
Perlakuan khusus
Sebelumnya, sempat terlintas di benak mereka bahwa barang tersebut bekas dipakai orang lain. Tetapi, lama-kelamaan pikiran semacam itu hilang karena ada perlakuan khusus sebelum dipakai, seperti merendam atau mencuci dengan air panas untuk menghilangkan kuman. Apalagi, spa bagi beragam aksesori seperti tas dan sepatu pun menjamur di Jakarta.
Saat membeli, Betari juga akan memperhatikan penampakan baju, buluk atau tidak, ada warna kekuning-kuningan atau tidak, juga dari baunya. ”Kalau sudah buluk, ya jangan dibeli. Kalau hanya lecek sedikit, masih enggak apa-apa,” kata Betari.
Selain berburu barang bekas, keempatnya juga sering ikut garage sale. Bagi mereka, ketika ada barang yang dibeli, tentu juga ada barang yang dikeluarkan dari lemari. Tapi, apakah membeli barang bekas benar-benar penangkal fast fashion?
Kuncinya, kata Stephanie Campbell dari kampanye Wrap’s Love Your Clothing seperti dikutip The Guardian, adalah ”untuk menjauhkan pakaian dari tempat pembuangan sampah”. Setiap tahun 430.000 ton pakaian dibuang dan tidak didaur ulang di Inggris. Sementara itu, jumlah pakaian baru yang dijual meningkat menjadi 1,13 juta ton pada 2016, bertambah 200.000 ton dari jumlah penjualan pada 2012.
Angka ini bisa saja jadi semakin fantastis di Indonesia yang jumlah penduduknya hampir lima kali lipat jumlah penduduk Inggris. Bergeliatnya pasar produk mode seken di beragam kalangan menjadi secercah harapan bagi mode yang lebih berkesadaran lingkungan.