Siapkan Mental Sebelum Main Tembak-tembakan
Di sembarang tempat semakin banyak orang memegang ponsel cerdas dengan posisi horizontal. Kedua lubang telinganya disumpal earphone. Tiba-tiba mereka ngomong sendiri.
”Turun di Pochinki berani enggak?”
”Tolongin, gue knock.”
Begitulah contoh percakapan yang sering terdengar. Kemungkinan orang dengan ciri-ciri seperti itu sedang asyik bermain Player Unknown’s Battle Ground Mobile atau PUBG Mobile. Permainan perang-perangan daring itu telah diunduh dan dimainkan jutaan orang di dunia.
Di balik kesuksesannya, PUBG mengundang pro dan kontra. Game laris itu dianggap memengaruhi pemainnya untuk melakukan kekerasan, bahkan melakukan terorisme.
PUBG juga dituding menyebabkan kecanduan dan berbagai perilaku menyimpang. Di India dilaporkan seorang pria dilarikan ke rumah sakit akibat kecanduan PUBG. Pria tersebut memukuli dirinya sendiri saat bermain.
Sebuah sekolah dasar di Jakarta Barat meminta orangtua membatasi jam bermain anaknya dengan gawai. Anak hanya boleh bermain dengan gawai hari Sabtu dan Minggu karena khawatir kecanduan PUBG atau game lainnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah melakukan kajian untuk mengeluarkan fatwa terkait dengan PUBG.
Psikolog forensik Kasandra Putranto, Sabtu (23/3/2019), mengutarakan, game memang memberikan dampak positif dan negatif, tergantung dari durasi, konten, dan dampak game terhadap fungsi kehidupan. Game tembak-tembakan, seperti PUBG, sudah ada sejak lama, misalnya Counter Strike dan Call of Duty. Game yang mengandung kekerasan, seperti Grand Theft Auto, juga dilarang.
”Secara umum, ya (berdampak), tetapi tetap ditentukan faktor individunya. Masalahnya tidak hanya terletak di game-nya, tapi di kualitas mental individu,” ujarnya.
Menurut Kasandra, game seperti PUBG tidak terkait langsung dengan tindakan orang yang melakukan terorisme. Dia sepakat ada fatwa bersyarat, tetapi tetap tidak semata-mata menyalahkan game. Karena jika menyalahkan game, masalah utamanya tidak diselesaikan.
”Percuma melarang game, tetapi kualitas mental emosionalnya rentan radikalisme dan ekstremisme. Pelaku terorisme di Indonesia kebanyakan (menjadi radikal) melalui media sosial, Youtube, atau pengajian. Apakah pengajian mau dilarang juga,” katanya.
Kasandara berpendapat, yang penting adalah bagaimana keluarga bisa menjaga tumbuh kembang anak-anaknya. Tujuannya agar anak-anak tersebut kelak bisa menyerap kasih sayang kepada sesama.
Meniru perilaku
Psikolog Reza Indragiri mengatakan, dalam psikologi memang dikenal teori belajar sosial. Intinya, orang memunculkan atau mengubah perilaku berdasarkan apa yang dilihatnya. Namun, realitasnya tidak serta-merta atau tidak semua orang yang menonton teror di Selandia Baru atau bermain PUBG akan melakukan hal serupa.
”Itu artinya ada faktor individual yang jadi penentu apakah stimulasi dari game atau televisi akan diduplikasi atau tidak,” katanya.
Reza mengutarakan, faktor tersebut antara lain suggestibility, yaitu kerentanan seseorang untuk menerima sugesti atau pengaruh. Tiga kelompok manusia yang secara umum dianggap memiliki suggestibility adalah orang dengan kecerdasan atau pendidikan rendah, anak-anak, dan perempuan.
Menurut Reza, dalam PUBG stimulus tidak hanya berupa obyek yang ditonton, tetapi obyek yang berinteraksi dengan pemirsa. Wajar ada kekhawatiran bahwa peniruan semakin potensial karena stimulasi melalui indera penglihatan dan pendengaran.
Faktor lainnya adalah tendensi kekerasan yang sudah ada pada diri individu. Ketika tendensi itu ada, sedikit stimulasi saja bisa melipatgandakan kemungkinan munculnya perilaku kekerasan.
Faktor lainnya adalah tendensi kekerasan yang sudah ada pada diri individu. Ketika tendensi itu ada, sedikit stimulasi saja bisa melipatgandakan kemungkinan munculnya perilaku kekerasan.
Kajian mendalam
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni’am Sholeh, Sabtu (23/3), mengatakan, MUI akan melakukan pengkajian mendalam mengenai konten dan dampak yang ditimbulkan dari permainan PUBG.
”Jika pangkal masalahnya sudah dikaji secara mendalam, akan ditentukan solusi untuk menjawab masalah tersebut. Nanti solusinya bisa fatwa atau yang lain. Fatwa adalah jawaban hukum Islam terhadap masalah yang muncul di tengah masyarakat sebagai solusi dan panduan bagi masyarakat dan umat,” katanya.
Menurut Asrorun, setelah dilakukan kajian, solusinya bukan berupa fatwa. Solusinya bisa jadi adalah penegakan hukum dan penguatan regulasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah memiliki regulasi terkait dengan permainan daring yang melarang konten perjudian, pornografi, dan kekerasan.
Asrorun menambahkan, MUI akan mengundang para pakar di bidang tersebut untuk memberikan pandangan. Kajian tidak hanya dilakukan terhadap PUBG, tetapi juga terhadap permainan lainnya.
”Kami akan mendengar masukan para pihak, termasuk para psikolog, Kemenkominfo, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ahli hukum, produsen, serta gamers,” katanya.
Persiapan mental paling diperlukan menghadapi banjir aplikasi game. PUBG hanya salah satu dari ribuan game yang dapat diunduh gratis. Popularitas PUBG suatu saat pasti menurun, lalu muncul lagi game serupa yang lebih mengasyikkan dan lebih menyebabkan kecanduan.