Tanah Airku Indonesia
Saya sangat suka mendengar dan mendendangkan lagu ”Tanah Airku” karya Ibu Sud dan ”Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Kesenangan mendengar dua lagu itu sudah berlangsung sejak masa sekolah dulu.
Lagu-lagu itu selalu memberi kenangan akan masa kecil yang menyenangkan di tengah perundungan yang saya terima. Kalimat-kalimat di dalam dua karya indah itu sangat menyentuh hati.
Negeri yang elok
”Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku di sanalah kurasa senang.”
Penggalan lirik lagu ini benar adanya. Setelah saya mendapat kesempatan melihat dunia, melihat ciptaan Tuhan yang maha besar di negeri orang, bahkan mulut pernah berkata seandainya aku bisa tinggal selamanya di negeri orang, saya merasa bahwa kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan adalah yang selalu ngangenin.
Lagu-lagu itu membawa kenangan masa kecil dahulu. Bermain layangan dengan tetangga, pergi ke sawah dan kembali ke rumah dengan kaki belepotan dan mendengar ibu mulai berteriak, berenang bersama ayah yang galaknya setengah mati di pantai dengan nyiurnya yang melambai, mendaki gunung dan melihat sendiri eloknya negeri ini. Negeri elok amat kucinta, itu benar adanya.
Beberapa minggu lalu, saya bepergian dari Semarang ke Surakarta melalui jalan bebas hambatan yang mempersingkat waktu. Dalam perjalanan itu saya melihat pemandangan yang indah di kiri dan kanan jalan. Pemandangan itu seperti tergambar pada buku-buku pelajaran masa sekolah dasar dulu. Perjalanan yang hanya ditempuh kurang dari satu jam itu seperti sebuah perjalanan nostalgia yang menentramkan
hati.
Saya belum berkesempatan mengunjungi semua pulau kelapa nan amat subur, pulau melati pujaan bangsa ini. Namun, di tempat-tempat yang pernah saya kunjungi, kalimat di dalam dua lagu-lagu di atas bukanlah kalimat yang dikarang dengan hanya menggunakan kalimatkalimat indah hiperbola. Sesungguhnya, negeri ini memang indah. Tidakkan hilang dari kalbu.
Akan tetapi, bagaimana dengan sekarang ketika negeri ini mengalami banyak perubahan? Apakah saya masih memiliki perasaan yang sama terhadapnya? Apakah kebahagiaan yang sekarang ini tak berbeda dengan kebahagiaan di masa kecil dahulu? Apakah kedua lagu tersebut di atas hanya sebagai lagu-lagu pembawa kenangan masa kecil dan kebahagiaan masa muda yang hilang?
Mencintai
Saya masih mencintai negeri ini sampai sekarang. Cinta saya tak berubah dengan keadaan yang berubah. Negeri ini masih tetap elok di mata saya, bukan hanya karena di negeri ini saya lahir. Kecintaan dan keelokan di mata saya tak akan hilang hanya karena saya menerima perundungan dalam perjalanan hidup di negeri ini atau karena fasilitas yang tersedia tidak secanggih negara-negara super maju yang pernah saya kunjungi.
Saya tak tahu apakah karena usia yang bertambah atau karena tulisan ini dibuat dari kacamata orang yang lebay, maka saya menuliskan kalimat di atas itu. Namun, mungkin karena setelah hidup setengah abad lebih, saya mengerti apa artinya mencintai.
Dalam hal mencintai, tak selamanya saya mengalami masa yang indah. Ada harga yang harus saya bayar, yaitu penerimaan. Saya yakin Anda lebih tahu dari saya soal itu. Penerimaan telah memampukan saya untuk menguasai perasaan saya sehingga saya tak terlalu baper atau cepat naik pitam kepada yang saya cintai.
Penerimaan membuat saya bisa mengerti bahwa tak ada yang sempurna. Penerimaan membuat saya bisa menegur yang keliru dengan rasa cinta bukan dengan rasa kebencian yang sangat. Penerimaan mengajarkan saya untuk tak egois dan memaksakan kehendak saya kepada yang saya cintai.
Karena sejatinya tujuan dari mencintai adalah untuk mewujudkan sebuah hubungan yang membahagiakan batin keduanya, bukan untuk menyengsarakan kedua belah pihak. Penerimaan mengajarkan saya untuk tidak mengubah orang yang saya cintai seperti yang saya kehendaki.
Namanya juga penerimaan, yaa…, saya yang harus terima. Kalau saya mau mengubah menjadi sosok yang saya kehendaki, itu namanya bukan penerimaan. Kalau saya mau mengubah orang yang saya cintai seperti yang saya kehendaki, mending saya mencintai diri sendiri saja bukan?
Tentu tak menampik bahwa ada perjalanan cinta yang tak langgeng sehingga kandas di tengah jalan. Maka sekali lagi, penerimaan mengajarkan saya untuk berani mengakui bahwa hubungan yang kandas juga gara-gara saya dan bukan hanya karena pihak lain saja.
Dan penerimaan akhirnya akan memampukan saya untuk tidak menjelek-jelekkan salah satu pihak ketika perjalanan cinta itu kandas. Karena kalau saya menjelekkan, apa bedanya saya dengan yang saya jelekkan. Kalau saya menjelek-jelekkan, bukankah dari sejak awal yang mau mencintai dan dicintai adalah saya?
Saya tak tahu apakah mencintai negeri ini sama tekniknya dengan mencintai manusia. Namun, kemampuan menerima itu yang membuat saya bisa menyanyi sampai hari ini, ”Tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa”.