JAKARTA, KOMPAS – Komitmen anti-korupsi para politisi tidak cukup hanya menjadi retorika semata dalam kampanye jelang pemilu. Praktik korupsi sudah meraja lela di banyak lini. Sebagian publik gamang Pemilu 2019 dapat menghasilkan politisi yang bersih.
Karena itu, perlu bukti nyata yang perlu ditunjukkan ke publik untuk memberantas praktik ilegal itu. Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin Ace Hasan Syadzily mengatakan pemerintahan Jokowi telah menunjukkan pemberantasan korupsi dilakukan dengan tegas dan tidak tumpul ke atas.
“Kami berikan kewenangan pada KPK untuk menindaknya secara tanpa pandang bulu. Dan itu terbukti, misalnya seperti kasus yang dialami saudara Romy,” kata Ace saat ditemui di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/3/2019). Pemerintahan Jokowi-Amin lima tahun mendatang pun akan memperkuat institusi KPK, tambah dia.
Pada kasus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy misalnya, dia ditangkap KPK atas dugaan menerima suap jual beli jabatan di Kementerian Agama pada beberapa waktu yang lalu. PPP adalah salah satu partai politik pengusung pasangan calon Jokowi-Amin.
Selama ini, tambah Ace, Jokowi juga telah menerapkan strategi pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat program reformasi birokrasi, pembentukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), dan penerbitan peraturan presiden bagi siapapun orang yang melaporkan adanya tindakan korupsi. “Jadi saya kira, upaya yang dilakukan oleh Jokowi sudah sangat serius,” tambah Ace.
Di sisi lain, Direktur Materi Debat dan Kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Sudirman Said sebelumnya mengatakan, Presiden Joko Widodo masih belum berhasil mempengaruhi para elite politik di sekelilingnya agar tidak melakukan praktik korupsi.
Terseretnya Romy dalam kasus suap Kementerian Agama menurut Sudirman menjadi bukti penilaiannya tersebut. "Itu artinya pak Jokowi tidak mampu memberikan satu pengaruh yang baik sehingga orang sekitarnya agar terjaga dari praktek korupsi," kata mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2014–2016 tersebut.
Sudirman menyebut kondisi semacam ini sebagai krisis kepemimpinan. “Kepemimpinan yang ada tidak mampu menciptakan praktek pemerintahan yang bersih dan baik,” kata Sudirman.
Noda politik
Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 20–21 Maret 2019 terhadap 514 responden di 16 kota besar di Indonesia, sebesar 75,3 persen responden pun menilai bahwa tertangkapnya politisi atas dugaan kasus korupsi menodai iklim politik.
Hampir seluruh responden (94,4 persen) pun setuju dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, faktor bersih dan tidak korupsi menjadi faktor utama yang berpengaruh bagi publik dalam menentukan caleg pilihannya; yakni sebesar 49,4 persen. Faktor lainnya adalah mengenal dekat caleg (22,6 persen); latar belakang partai (10,5 persen); dan program kampanye (10,1 persen).
Meski demikian, lebih dari setengah responden (50,4 persen) tidak yakin bahwa Pemilu 2019 akan menghasilkan politisi yang bersih dan tidak korupsi.