Menanti Episode Baru Pembalakan Liar di Rimbang Baling
›
Menanti Episode Baru...
Iklan
Menanti Episode Baru Pembalakan Liar di Rimbang Baling
Penindakan ala kadarnya selama ini tidak pernah membuat jera para pelaku pembalakan liar di Rimbang Baling. Agaknya kita masih akan menunggu episode pembalakan liar lanjutan yang bakal dimulai lagi sebulan, dua bulan atau enam bulan ke depan. Kerusakan Rimbang Baling memang belum berakhir. Mari kita tunggu kabarnya.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·5 menit baca
Sepekan terakhir, Sungai Subayang kembali suci. Tidak ada lagi aliran kayu hasil tebangan liar dari Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Dermaga sungai di Desa Gema, ibukota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, pun sepi. Pemandangan ribuan log kayu yang biasanya mengotori pemandangan sebelum diangkut truk-truk menuju perbatasan Kota Pekanbaru, tidak terlihat. Air bening yang membelah surga harimau sumatera itu seakan semakin beriak keras tatkala menyusup disela-sela bebatuan.
Ada apa di Rimbang Baling? Apakah warga pembalak liar dan para tauke kayu sadar tindakan mereka selama ini telah merusak alam ? Ah, ternyata masih angan-angan belaka.
Sepekan lalu, tim Kepolisian Daerah Riau dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, melakukan operasi gabungan. Puluhan aparat berseragam dan bersenjata lengkap turun ke Gema. Mereka menyusuri Sungai Subayang sampai ke hulu. Sayang hasilnya nihil. Tidak ada sepotong kayu pun terlihat di sungai atau di dermaga Pelabuhan Gema.
Operasi itu telah bocor sebelum aparat tiba di lapangan. Penelusuran Kompas menginformasikan, pada Senin (18/3/2019) pagi, Polda Riau melakukan rapat koordinasi dipimpin Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Gidion Arif Setiawan. Rapat yang membahas pembalakan liar di Rimbang Baling itu, memutuskan operasi dengan mengirim pasukan. Namun, tak lama setelah rapat di Mapolda, kabar operasi itu ternyata sudah sampai di Rimbang Baling.
Tergesa-gesa, tiga unit truk kayu langsung masuk ke Gema. Puluhan orang bergegas memuat seluruh tumpukan kayu terakhir dari sungai. Menjelang sore, tidak ada lagi kayu log tersisa. Ketika aparat tiba pada Rabu dan Kamis (20-21/3/2019), ratusan bahkan ribuan barang bukti kayu log sebesar gajah, yang sebelumnya merajalela, kemudian lekas sirna.
Gidion tidak menampik hasil operasi tak sesuai harapan. Namun ia mengatakan, dalam operasi kemarin polisi memang lebih bersifat persuasif. Pembalakan liar di Rimbang Baling melibatkan banyak orang, terutama penduduk lokal. Penegakan hukum yang tidak dibarengi sosialisasi, diyakini bakal menghadapi perlawanan warga. Tindakan hukum keras justru akan menimbulkan konflik warga dan aparat yang bakal tidak terhindarkan.
“Pertimbangan polisi banyak. Situasi jelang pemilihan umum perlu dijaga dari konflik-konflik tidak perlu. Namun, kami tidak diam, masih ada penyelidikan lanjutan. Kami sudah memanggil aparatur desa untuk ikut menjaga kondisi ini,” kata Gidion.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono mengatakan, kegagalan operasi patut dievaluasi. Perlu rencana dan koordinasi lebih matang. Alasannya, sindikat pencuri kayu memiliki jaringan sangat bagus, termasuk hubungan dengan oknum aparat. Kabar operasi yang bocor jadi buktinya.
“Menghadapi organisasi kuat dibutuhkan rencana matang. Kalau operasi hanya bersifat konvensional, pasti akan gagal lagi. Saya lebih suka operasi di hilir atau di tengah. Polda pasti lebih paham. Yang jelas, tiada penyakit yang tidak bisa diobati. Perlu koordinasi seluruh pihak agar pembalakan liar di Rimbang Baling dapat diakhiri,” kata Suharyono.
Koordinasi, seperti ucapan Suharyono, merupakan kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Di Rimbang Baling, banyak pihak berkepentingan dan memanfaatkan alam, baik positif atau negatif.
Negatifnya adalah sindikat pencurian kayu. Sedangkan hal positif adalah hadirnya berbagai organisasi non pemerintah dari skala lokal daerah, nasional, sampai internasional di Rimbang Baling. Ada World Wildlife Fund for Nature (WWF), Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), Indecon, World Resource Institute, Rumah Budaya Siku Keluang, hingga Bahtera Alam.
Akan tetapi, catatan utamanya, mengapa pembalakan liar di Rimbang Baling tetap berlangsung dan belum dapat diatasi? Apakah organisasi-organisasi ini diam melihat pembalakan di depan matanya?
Syamsidar, juru bicara WWF Riau, mengungkapkan, pihaknya adalah lembaga yang kerap bersuara tentang konservasi di Rimbang Baling. Mereka rajin mengimbau warga menjaga hutan dan hidup berdampingan bersama alam. Namun, masalah pembalakan liar, bukanlah ranah yang dapat diatasi langsung oleh WWF.
“Untuk mencegah pembalakan, kami lebih bersifat menyuluh warga. Bahkan menyuluh pun, WWF tidak disukai banyak warga. Kami kerap dituding. Kalau ada operasi atau tindakan hukum oleh aparat di Rimbang Baling, WWF adalah dalangnya,” kata Syamsidar.
Kami kerap dituding. Kalau ada operasi atau tindakan hukum oleh aparat di Rimbang Baling, WWF adalah dalangnya
WWF bersama Yapeka dan Indecon, membentuk konsorsium bernama Imbau, untuk konservasi Rimbang Baling. WWF fokus pada misi konservasi alam. Sementara Yapeka dan Indecon hadir mendampingi peningkatan ekonomi penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, Imbau hadir di tengah-tengah warga sepanjang Sungai Subayang dan Sungai Bio. Kedua sungai itu membelah Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
Pada September 2018, Kompas datang ke Rimbang Baling untuk melihat aktivitas Imbau ditengah-tengah masyarakat. Anggota Yapeka melakukan penyuluhan, pendampingan dan memperkenalkan pola ekonomi pertanian non hutan kepada warga. Adapun Indecon membantu kelompok warga menghidupkan pariwisata daerah. Harapannya, masyarakat tidak lagi terlalu bertumpu dengan kayu hutan sebagai sumber ekonomi.
Sayangnya, diantara fakta pembalakan yang semakin marak, kerja Imbau belum mampu mengurangi pembalakan liar. Persoalan Suaka Margasatwa Rimbang Baling memang kompleks. Warga telah lebih dahulu bermukim di sepanjang Sungai Subayang dan Sungai Bio.
Ditengah himpitan ekonomi warga akibat harga karet anjlok, ajakan tauke untuk menebang kayu di hutan, jelas lebih menggiurkan. Magnet uang kayu liar mampu mengalahkan segala ketakutan terhadap ancaman hukum dan ketaatan terhadap kelestarian alam.
Itulah persoalan riil di lapangan. Dilema itu harus menjadi perhatian seluruh pihak. Harapan paling awal, lembaga-lembaga non pemerintah jangan hanya mengerling terhadap pembalakan liar yang berlangsung secara terang-terangan. Kerlingan itu harus ditindaklanjuti dengan memberikan informasi kepada aparat BBKSDA dan polisi agar pembalakan dapat ditekan dan dihabisi.
Akan tetapi, banyak pula yang pesimis. Kalaupun informasi telah diberikan, kesungguhan aparat tidak nampak. Penindakan ala kadarnya selama ini tidak pernah membuat jera para pelaku pembalakan liar di Rimbang Baling. Agaknya kita masih akan menunggu episode pembalakan liar lanjutan yang bakal dimulai lagi sebulan, dua bulan atau enam bulan ke depan. Kerusakan Rimbang Baling memang belum berakhir. Mari kita tunggu kabarnya.