JAKARTA, KOMPAS - Kolaborasi kaum milenial dalam berbagai hal merupakan salah satu bentuk kegotongroyongan yang menjadi roh Pancasila. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila bisa tetap bertahan dan tak lekang oleh zaman. Nilai-nilai itu tetap relevan dan mampu menjadi jawaban untuk masalah-masalah bangsa.
Intisari Pancasila seperti dirumuskan pendiri bangsa ini adalah gotong-royong. Gotong-royong dimaknai sebagai kerja keras bersama, holobis kuntul baris, untuk kepentingan bersama.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengutip Bung Karno yang menyebut gotong-royong adalah paham yang dinamis. Kegotong-royongan ini diterjemahkan dalam semangat kolaborasi dan ekonomi bersama (shared economy).
Dalam ekonomi bersama seperti Airy, aset tetap milik perorangan, demikian pula di Go-jek. Qlue sebagai aplikasi untuk memantau layanan dan laporan publik juga menerapkan semangat yang sama. Ada kerja bersama.
“Ekonomi digital berjalan berdasarkan roh gotong-royong,” tutur Rudiantara dalam diskusi bertajuk “Pancasila sebagai Ideologi yang Kreatif” di Gedung Bina Graha, Jakarta, Jumat (29/3/2019).
Dalam acara yang diselenggarakan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) ini, hadir pula sebagai narasumber Sekretaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, dan Awaluddin Tjalla Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diskusi dipandu Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardhani.Kendati ekonomi bersama dimaknai sebagai kegotong-royongan, di sisi lain, desakan ideologi lain tetap terjadi. Dalam survei UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2018, kata Jalesvari, diketahui mahasiswa lebih tertarik ideologi lain selain Pancasila. Para siswa pun dalam 10-15 tahun ini sudah tak tertarik pada Pancasila.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada akhir 2017 juga pernah merilis hasil survei yang menyatakan, sekitar 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas yang dipersepsikan berbeda dari mayoritas.
Selain itu, 34,3 persen responden tersebut memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Masalah serupa disampaikan Alamsyah. Di sekolah putranya, muncul diskusi mengenai Pancasila yang semestinya diganti syariat Islam. Pembahasan tentang Pancasila yang sesungguhnya sesuai dengan syariat Islam malah tak ada. Diskusi mengenai Pancasila yang mengayomi semua warga baik Muslim maupun warga yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu malah tak muncul.
Bukan hanya itu, musyawarah mufakat yang menjadi satu nilai dalam Pancasila pun tampak mati. Di DPR, misalnya, kata Alamsyah, penyelesaian satu masalah kini sulit dicapai melalui musyawarah mufakat.
Untuk menumbuhkan kembali semangat dan nilai Pancasila, menurut Karjono, semestinya memang ada pelajaran budi pekerti dan Pancasila. Selain itu, BPIP akan menyiapkan semacam peta jalan untuk penguatan ideologi Pancasila.