Manusia Itu Kecil
Di balik setiap karya seni yang terkesan rumit, acap kali justru mengangkat pesan sederhana. Seniman Ariadhitya Pramuhendra (35) membuat dua dinding besar menjadi gerbang masuk ruang pamer di pelataran Galeri Nasional Indonesia, sekadar ingin menampakkan pesan sederhana bahwa manusia itu kecil.
Ukuran kedua dinding tersebut memiliki ketebalan 1,3 meter dan tinggi 4,9 meter dengan panjang masing-masing 15 meter dan 30 meter. Di antara keduanya terdapat celah untuk pintu masuk.
Dinding besar berwarna hitam itu menjadi bagian dari pameran tunggal Pramuhendra yang bertajuk ”The Monster: Chapter II Momentum”. Pameran ini berlangsung 23 Maret hingga 7 April 2019.
”Begitu pula, lukisan besar di ruang pamer yang saya buat untuk mengesankan kita manusia itu kecil,” ujar Pramuhendra dalam perbincangan, Kamis (28/3/2019).
Lukisan itu diberi judul ”Let There Be Light, Angels”, berukuran tinggi 4 meter dan panjang 14 meter, terdiri atas tujuh panel. Pramuhendra melukiskan kehidupan religius bernapaskan rohani agama Katolik dengan menjumput inspirasi karya seniman Italia, Caravaggio (1571-1610).
Pramuhendra menunjukkan makna yang kontemplatif tentang manusia itu kecil. Manusia hanyalah setitik debu yang mengisi alam semesta tak terbatas.
Korelasi dengan kekinian diartikan manusia haruslah sadar dengan eksistensi kemanusiaannya. Manusia yang kecil itu lemah, maka harus hidup dengan saling mengasihi.
Karya lukisan Pramuhendra sebagian besar menggunakan medium arang atau charcoal di atas kanvas.
Gelap
Kejanggalan ditempuh Pramuhendra dalam menyuguhkan karya-karyanya di ruang pamer. Ruang pamer dibuat gelap gulita, hanya diterangi dengan beberapa nyala lilin.
Pengunjung pun dibekali lilin ketika hendak memasukinya. Ini terkesan sakral. Tetapi, ada alasan teknis seperti diungkapkan Pramuhendra dan ternyata memiliki makna cukup mendalam.
Ia menunjukkan lukisan berjudul ”Memories of Memory”, berlatar ruang pengakuan dosa di gereja. Di lapisan depan lukisan itu diberi prada atau warna emas sebagai kisi-kisi ruang tersebut.
Di balik kisi-kisi digambarkan sosok manusia dalam ritual pengakuan dosa antara umat dan imamnya di gereja Katolik. Kisi-kisi berwarna emas itu memisahkan keduanya.
”Ketika ruang itu menjadi gelap, warna keemasan itu akan jauh lebih tampak sebagai dinding yang membatasi antara siapa yang dilihat atau siapa yang melihat,” kata Pramuhendra.
Hal ini menunjukkan terang tidak selalu memperlihatkan suatu kejelasan. Dengan nyala lilin di tengah kegelapan, kisi-kisi dinding dengan prada emas lebih terlihat. Begitu pula sosok manusia di balik kisi-kisi bisa dilihat makin jelas. Gelap menjadi kontras.
Dalam hidup keseharian, manusia beragama dengan kadar ketaatan tinggi justru sering lupa atau tidak melihat bahwa setiap manusia memiliki sisi kegelapan atau dosa. Pramuhendra memvisualkan situasi ini dengan karya instalasi yang diberi judul ”The Sinner” atau Yang Berdosa.
Melalui sebuah celah, terlihat sosok manusia sebagai Paus Gereja Katolik yang tertelungkup di lantai. Pramuhendra menangkap postur tubuh demikian untuk menunjukkan ritual seorang Paus tertelungkup mencium tanah untuk pertobatan diri sebagai manusia berdosa. Paus dianggap manusia suci dalam hukum Gereja Katolik, tetapi dia tetaplah manusia yang mempunyai dosa.
Hal yang transendental disentuh Pramuhendra melalui lukisan berjudul ”Paradise in You”. Lukisan ini dengan media lembaran logam besi berkarat sepanjang sekitar 20 meter dengan tinggi 1,22 meter.
”Besi berkarat itulah lukisan Tuhan,” kata Pramuhendra.
Bagi dia, Tuhan menciptakan keindahan. Acap kali manusia tidak bisa menikmati. Atau bisa menikmati, tetapi tidak pernah puas.
Ada masalah ketegangan atau tension di dalam ekspresi karya Pramuhendra. Karya-karya itu menyiratkan gagasan artistik keagamaan Katolik.
Karya lainnya, sebuah instalasi berjudul ”A Stone, Blood, and The Forgotten Face”. Ini merupakan replika patung Pieta dengan bahan batu marmer karya Michelangelo (1475-1564).
”Patung Pieta disebut-sebut memiliki kesempurnaan. Tetapi, saya ingin menyampaikan, dari sesuatu yang terlihat sempurna itu tetap memiliki ketidaksempurnaan,” ujarnya.
Pramuhendra membuat replika patung Pieta yang tidak sempurna. Ia memotong bagian-bagian tubuh seperti wajah, kaki, atau tangan pada figur Maria dan Yesus itu.
Ia meletakkan lampu tabung bernyala putih. Ini menyiratkan, di tengah ketidaksempurnaan, akan selalu ada nyala terang sebagai jalan menuju kesempurnaan sejati.
Sebuah karya instalasi ”Dark Water Spell” dibuat Pramuhendra berupa kolam air di dalam ruang pamer. Di permukaan kolam ada seekor merpati putih.
”Ini mengisahkan perjalanan mendapatkan kesejukan melalui sebuah meditasi. Seekor merpati putih disimbolkan sebagai roh suci,” lanjutnya.
Karya-karya yang terakhir dipajang di Gedung B Galeri Nasional berupa cetakan lukisan yang terinspirasi pelukis Caravaggio. Dengan teknik cetak grafis, lukisan-lukisan itu ditempelkan pada dinding yang terbuat dari tumpukan batu bata ringan.
Kurator pameran Rizki A Zaelani menyebutkan, ada masalah ketegangan atau tension di dalam ekspresi karya Pramuhendra. Karya-karya itu menyiratkan gagasan artistik keagamaan Katolik.
Dalam praktiknya, memunculkan ketegangan idiomatik yang tak terhindarkan. Namun, ketegangan itu mengerucut pada persoalan kepastian dan ketidakpastian.